Selasa, 04 Maret 2008

Tisa!!

Kriiing! Kriing!
Aku tersentak dan secara reflek melihat jam dindingku. Baru pukul 5.47. Pasti Ibunya Tisa yang menelepon. Dengan gontai aku keluar kamar dan mengangkat telepon.
“Pagi.”
“Selamat pagi,” jawab seseorang di seberang sana.
“Ini Ocha, ya? Tisanya ada?”
“Ga ada Tante.”
“Kira-kira, dia kemana, ya?”
“Saya juga kurang tau, tante. Saya sudah berusaha menghubungi teman-teman kampusnya, tapi semuanya bilang kalau mereka terakhir ketemu dengan Tisa sekitar seminggu yang lalu di kampus, itupun siang hari. Padahal malamnya, kami masih ketemu Tisa di kos.”
“Ya sudah kalau begitu. Kalau sudah ada kabar tentang Tisa, tolong segera kabari Tante, ya?”
“Pasti, Tante.”

Sudah seminggu ini beliau –dan kami– mencari Tisa. Entah dimana anak itu berada. Terakhir kali kami bertemu dengannya sekitar seminggu yang lalu. Malam itu, seingatku, Tisa lebih dulu masuk ke kamarnya. Setelah itu, teman-teman kosku satu-persatu menyusul masuk ke kamar masing-masing. Aku adalah yang terakhir masuk ke kamar karena film “Independence Day” yang diputar di televisi baru selesai pada jam 23.00. Dan seingatku, sepajang malam itu, aku tidak mendengar suara-suara aneh di sekitarku.
Esoknya, Ibu Tisa menelepon, seperti yang terjadi pada pagi ini. Seperti biasa, akulah yang mengangkat telepon aku adalah makhluk pertama yang bangun pagi di kosku. Ketika itu, aku sudah memanggil nama Tisa hingga berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban darinya. Tetapi saat itu, kupikir dia hanya terlalu lelap tidur saja. Anehnya, sudah seminggu ini, kami tidak melihat batang hidung anak itu. Ponselnya selalu berada pada posisi tidak aktif, begitu juga dengan ponsel pacarnya, Beno. Mereka bagaikan lenyap di telan bumi. Teman-teman mereka pun tidak ada yang tau dimana mereka berada.
Aku kembali ke kamarku dan kembali melihat ke arah jam. Sudah hampir jam enam. Sudah saatnya aku mandi.
Aku baru saja keluar dari kamar mandi, ketika mendengar telepon berdering lagi. Sekarang telepon dari siapa, ya? Tidak mungkin Ibunya Tisa yang menelepon lagi.
“Pagi,” sapa suara di seberang. Suara seorang pria.
“Pagi. Cari siapa, ya?”
“Tisanya ada?”
“Tisa udah seminggu ini ga ada. Kita juga lagi nyariin dia. Ini siapa?”
“Saya Danu, temannya Beno. Saya cuma mau ngabarin kalau saya sudah tau dimana Beno. Dia ada di Rumah Sakit Hadisuwarno. Kamu temannya Tisa yang waktu itu nelepon ke kos, nyariin Tisa kan?”
“Iya, bener. Oke, aku ke rumah sakit sekarang sama temen-temen yang lain. Si Beno di kamar nomor berapa? Emang dia sakit apa siy?”
“Kamar Anggrek 15 di lantai 3. Kami juga belum tau dia sakit apa. Barusan dia ngubungin dan minta kita semua ke sana, termasuk teman-temannya Tisa. Dia bilang ada yang mau dia sampaikan tentang Tisa.”
“Oh, oke. Kalau gitu, kita langsung ketemu di sana aja. Bye.”
“Bye.”
Setelah meletakan gagang telepon, aku mengetuk-ngetuk pintu kamar teman-teman kosku dan menyuruh mereka segera bangun. Setelah semua berkumpul, aku cerita mengenai isi telepon tadi dan menyuruh mereka segera bersiap. Dengan terburu-buru, kami bersiap-siap pergi.
Setelah semua siap, kami berangkat dengan berboncengan motor. Tiba di rumah sakit, kami langsung menuju kamar yang tadi disebutkan Danu dan mendapati Beno terbaring lemah di sana.
“Hai, teman-teman,” sapanya dengan senyum lemah.
“Beno! Lo kenapa?” Tanya kami berbarengan.
“Kecelakaan. Sori, gue baru ngubungin kalian sekarang. Kenalin ini teman-teman kos gue,” katanya sambil menunjuk segerombolan cowok yang sudah nangkring di sisi kiri tempat tidurnya. “Dan itu keluarga gue,” lanjutnya sambil menunjuk ke balkon.
“Terus Tisa mana?” tanyaku serta-merta.
“Tisa.. Dia..”
“Dia kenapa?” ganti temanku Nia yang bertanya.
“Dia juga kecelakaan.”
“Ya, tapi sekarang dia dimana?”
“Dia.. Dia..”
“Sebenarnya ada apa sih, Ben?” aku bertanya.
“Sebenarnya, seminggu yang lalu, aku ngajak Tisa nonton “Spiderman 3” di bioskop Origin tengah malem, tapi..”
“Bioskop Origin?!” jerit kami berbarengan.
Tiba-tiba, suasana kamar itu hening. Kami sibuk dengn pikiran kami masing-masing. Akhirnya suara Lili memecah keheningan itu. “Ga mungkin, lo ngajak dia nonton tengah malem. Kita lihat Tisa masuk kamar jam sembilanan, kos udah ditutup jam 10 malem, dan Ocha bilang dia nonton di ruang tengah sampai jam 11. Kalau Tisa mau keluar sama lo, Ocha pasti lihat.”
“Gue nyuruh Tisa keluar lewat jendela kamarnya dan gue bantuin Tisa manjat pagar,” jawab Beno lirih.
“Tapi gue ga ada denger suara apapun sampai jam sebelasan,” sahutku.
“Tisa baru keluar jam 12 kurang 10 menitan. Mungkin saat itu, lo udah udah tidur. Lagian, gue sama Tisa berusaha keras supaya ga berisik.”
“Ya, kayaknya gue udah tidur jam segitu..” jawabku lirih.
“Oke, kalau gitu, lo dan Tisa nonton bioskop bareng, terus kalian berdua kecelakaan. Terus sekarang, Tisanya mana?” seloroh Meli.
“Gue ga berhasil nyelamatin Tisa karena gue sendiri keburu pingsan karena kekurangan oksigen. Gue bisa selamet karena seseorang masih sempat menyeret gue keluar dari situ.”
“Maksud lo, Tisa udah..” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.
Beno hanya bisa mengangguk lemah sambil menangis. Suasana kamar kembali hening, tapi kali ini diiringi dengan deraian air mata.
Setelah sampai di kos, aku menyendiri di kamarku. Aku membongkar tumpukan koranku dan mengambil sebuah koran yang terbit seminggu lalu. Aku segera menekuri berita yang berjudul “Bioskop Origin Dijilat Si Jago Merah”.
Di artikel itu tertulis, ada puluhan orang yang menjadi korban dan lima di antaranya meninggal dunia. Sayangnya, kelima korban meninggal tersebut sulit teridentifikasi karena luka bakar yang sangat parah. Yang tak kusangka saat membaca berita itu seminggu yang lalu adalah salah satu di antara korban itu.. Tisa!!

Tidak ada komentar: