Jumat, 29 Februari 2008

(F)ather (A)nd (M)other (I) (L)ove (Y)ou

Kita semua pasti memiliki keluarga. Tak harus kandung, bisa tiri, angkat, atau siapa saja yang sudah kita anggap kerabat dekat. Lalu, apakah kita menyayangi keluarga kita? Jika ya, apakah tindakan kita selama ini sudah menunjukan rasa sayang kita pada keluarga ataukah justru menyakiti hati mereka?

Aku adalah anak pertama dalam suatu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan empat orang anak. Ketiga adikku bisa dibilang anak-anak yang sangat rewel dan sulit diatur. Kalo aku menasihati mereka, mereka malah menangis dan ujung-ujungnya, akulah yang kemudian dimarahi oleh kedua orang tuaku. Mungkin karena itu, aku jadi sering sebal pada mereka, pada Popz (ayahku) yang moody-an dan menurutku suka mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang keluarganya, Momz (ibuku) yang cerewet dan keras kepala, serta ketiga adikku yang sering berulah, berisik, dan membuat rumah berantakan.
Ketika mereka ingin meminjam barang-barang kepunyaanku, tak jarang aku malah membentak mereka dengan alasan mereka tidak bisa menjaga barang mereka sehingga nantinya barang-barangku pun berada dalam zona tak aman (bisa rusak, bahkan hilang). Sebaliknya, jika teman-temanku ingin meminjam barang, dengan senyum aku menyerahkan barang-barangku untuk mereka gunakan. Padahal tak jarang, teman-temanku juga merusak atau menghilangkan barang-barangku yang mereka pinjam.
Sering juga aku mengamuk jika keluargaku berbuat salah padaku. Ekspresiku bisa berupa umpatan, bentakan, atau bantingan barang. Tetapi jika temanku berbuat salah, aku bisa dengan mudahnya berkata, “Tidak apa-apa,” lalu mengobrol seperti biasa dengan mereka.
Kalau kupikirkan lagi, ironis sekali perlakuanku terhadap keluargaku. Padahal merekalah yang selalu ada saat aku senang maupun susah, merekalah yang selalu mendukung aku dalam doa mereka, merekalah yang selalu merindukan kehadiranku, sejak aku hadir di dunia ini hingga detik ini. Kadang mereka memang mengecewakan aku, tapi tak jarang pula aku mengecewakan mereka. Bahkan salah satu alasanku mengambil kuliah di luar kota adalah agar bisa lepas dari keluargaku.
Setelah kuliah di kota ini, aku baru tahu bahwa dunia ini tak seindah yang kukira, bahkan bisa jadi sangat ganas dan kejam. Dan keluargaku adalah salah satu tempatku bersandar ketika aku harus melalui masa-masa perkuliahan yang berat karena tidak sesuai dengan hal yang selama ini kuimpikan, kehilangan teman-teman terbaikku di masa sekolah, dan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang yang begitu mengecewakan aku.
Tapi untunglah, masih ada keluarga yang selalu setia mendukung aku. Terima kasih, Tuhan, karena Kau mengaruniakan aku keluarga yang begitu luar biasa. Dan terima kasih juga karena Kau justru menambahkan keluarga baru buatku di kota ini. Sahabat-sahabat yang mau menerimaku apa adanya dan tak putus-putusnya mendukung dan menghibur aku. Aku benar-benar menyayangi mereka semua, Popz, Momz, adik-adikku, dan tentu saja sahabat-sahabatku.
Mari mulai saat ini, kita tunjukanlah rasa sayang kita pada keluarga. Tak harus dengan kata-kata, tapi buktikan melalui tindakan kita. Perhatian yang sederhana sekalipun dapat membekas di hati mereka. Seringkali kita tidak tahu apa yang kita miliki sampai kita kehilangan dan kita tidak tahu apa yang belum kita miliki sampai kita mendapatkannya.

A Letter 4 My Father in Heaven

Hi, Lord..
How are you??

This is me
I’m Your kid
I’m Your child
I'm a new thought from You

I know You know me
I know You always see whatever I do
I know You always hear whatever I say

I know You know all about me
I know You always care about me
And I know You never leave me alone

Thank You, God
For the safety
For Your kindness
For Your help
For Your attention
For Your gifts
For my life
For the blessing
For Your enclosed
And for Your love

with love,
^Your Little Gal^


nb: surat ini aq yg karang sendiri pas zaman SMA doeloe.. yg ini udah versi editannya.. versi aslinya ada di blog friendsterku archieve zaman baheula!! hehe.. kalo kubaca2 laghee.. jadul juga ya niy surat.. kta2nya ga ada yang canggih gethoo..

I'm So Special..n So You are!!

Kedengarannya pede banget yakh?? Hehe.. Sebagai anak Tuhan, kita emang kudu (harus) pede. Kita kan udah tahu kalo Tuhan menciptakan kita berdasarkan gambar dan rupaNya sendiri. Jadi udah pasti kita ini oke punya!!
Supaya makin oke, Tuhan itu nyiptain kita secara spesifik, sehingga ga ada satupun dari kita yang persis sama, biar kembar identik sekalipun. Kalo ga percaya, cek aja sidik jari kita. Di seluruh dunia, ga ada deh yang nyamain. Keren kan? Makanya, kita jangan pernah ngebandingin diri kita ama orang-orang di sekitar kita.
Walopun kita ini ciptaan yang spesial, kita ga lepas dari kelebihan dan kekurangan. Ya iyalah, kalo kita perfect, apa bedanya kita ama Tuhan? Mungkin banyak dari kita yang bertanya-tanya, 'kenapa siy kita mesti punya kelemahan?' Jawabannya, karena Tuhan adalah Allah yang rindu untuk dicintai dan dikasihi oleh kita, anak-anakNya (Kel. 20: 5-6). Dia tahu banget kalo yang namanya manusia suka lupa daratan kalo lagi seneng dan baru inget Tuhan kalo lagi susah. Tuhan pengen kita selalu bergantung sama Dia, baik senang maupun susah. Dia ingin kita memuji dan memuliakan Dia dengan kelebihan dan kekurangan kita. Banyak kejadian dimana Tuhan justru menggunakan kekurangan kita sebagai berkat bagi sesama kita dan tak jarang kelebihan yang kita miliki justru menimbulkan bencana jika kita salah menggunakannya.
Contohnya aja, Raja Daud yang di masa kecilnya diremehkan karena bentuk tubuhnya yang kecil. Tapi karena Tuhan menyertai dia, dia berhasil mengalah Goliat yang tubuhnya jauh lebih besar dari dia (I Sam. 17: 40-58). Sementara anaknya Salomo yang diberkahi Tuhan dengan hikmat, kebijaksanaan, dan kekayaan yang melimpah malah jatuh ke penyembahan berhala karena cintanya pada istri-istrinya (I Raj. 11: 1-13). Jadi, ga selamanya kelebihan jadi berkat dan kekurangan jadi bencana.
Nah kalo kita belum tahu apa kelebihan kita, coba deh ambil waktu sejenak untuk memikirkan apa kelebihan kita (Rm. 12: 6). Kalo belum nemu juga, jangan putus asa. Ingat, Tuhan memberi kita karunia yang beda satu dengan lainnya (I Kor. 1: 5-7). Jadi, minta Tuhan nunjukin kelebihan kita itu (I Kor. 7:7). Buat kita yang udah tahu kelebihan dan kekurangan kita, mulailah berkarya dan berkreasi untuk Tuhan (I Tim. 4: 14).
Ketika kita sukses dalam berkarya dan berkreasi, bahkan yang buat Tuhan sekalipun, kadang kita jadi lupa diri dan menganggap kesuksesan itu adalah buah kerja keras kita sendiri. Wah kalo udah begini, kita harus waspada karena berkat kita nantinya jadi macet dan ga bisa mengalir pada sesama kita. Sebaliknya, ketika kita gagal, jangan pernah ngejelekin diri sendiri apalagi dengan omongan karena lidah kita berkuasa lhow (Ams. 18:21). Gagal itu wajar kok dan kegagalan merupakan pelajaran untuk meraih sukses. Kalo ga percaya, kamu boleh baca buku-buku biografi orang-orang sukses tingkat nasional maupun internasional. Semua kesuksesan yang mereka raih merupakan buah kegagalan di masa lalu mereka.
Ingat lowh, kita ini spesial, ga ada duanya, dan Tuhan nyiptain kita dengan segala dan kelebihan kita dengan maksud dan tujuan yang ruarrr biasa. So, cintailah diri kita apa adanya dan ayo semangat berkarya dan berkreasi buat Tuhan!!

Prenz

I’m not a nice person
But I’m grateful to have friends
I’m not a nice friend
But I’m grateful to have close friends

I feel happy
When I talk with them
Joke with them
Sing with them
Share to them

Sometimes they don’t hear me or care about me
Sometimes I disappoint them
Sometimes we anger each other

But, God had given them for me
To laughing with me
To cry with me
To make me feel that I'm not alone
People say.. that what friends're for

And you, my friends..
I love all of you..
Whoever you are!!

Jawaban Doaku!!

Minggu, 6 Januari 2008
Pagi ini bener-bener sial deh. Bangun kesiangan. Ga sempet sarapan. Tugas belum kelar pula. Huh, pokoknya aku bete banget deh. Padahal tadi aku dah sate, tapi kok hati aku belum benar-benar teduh, ya?!
Hmm, yang penting sekarang, semangat jalan kaki ke gereja. Tu, wa, tu, wa! Wah, niy jalan sepi amat. Oh, iya kan niy hari Minggu, jelas aja jalannya agak lengang gini. Orang-orang masih pada molor kali, ya? Kalo Nico, kira-kira lagi ngapain, ya? Tu anak gereja pagi ga, ya? Atau masih molor? Lho, lho, kok aku tiba-tiba inget dia siy? Kalo dipikir-pikir, dah lama juga ya aku ngegebetin dia. Dari zaman SMP, euy! Walah lama amat yakh?! Herannya, sampe sekarang kok aku belum bisa melupakan dia. Ya, iyalah. Gimana bisa lupa kalo dari SMP sampe kuliah, kita sekolah dan ngampus di tempat yang sama?
Tapi kan udah setahun ini, aku ga pernah ketemu sama dia, nomor ponselnya hilang gara-gara beberapa bulan lalu ponselku dicopet, dan email-ku pun belom dia bales. Tapi kata temen-temen, dia ga banyak perubahan siy. Masih gitu-gitu aja.
Huh, kenapa aku inget-inget dia lagi siy? Harusnya kan aku udah ngelupain dia. Bukan sebagai temen siy, tapi sebagai gebetan. Aku tahu siy kalo dari dulu dia nganggep aku seperti adiknya sendiri, tapi entah kenapa, aku selalu berharap suatu hari dia bisa nganggep aku lebih dari itu.
Oh, oke, kayaknya hari ini waktu yang tepat untuk mulai berkomitmen ngelupain dia deh mumpung masih dalam suasana tahun baru. Hmm, ini bisa jadi salah satu resolusi tahun baruku. Kalo gitu, Tuhan, kita bikin perjanjian, ya. Aku janji bakal ngelupain dia, kalo aku bisa ketemu sama dia sekaliiiiiiii aja. Kalo ga, ya berarti emang udah takdirku nungguin dia..
Hwakaqueque!! Sudah bernasib apes pagi-pagi begini, apa iya aku masih bisa ketiban untung? Lagian, ketemu ga ketemu, tetap aja aku ga beruntung. Kalo ketemu, berarti aku musti rela ngelupain dia; kalo mo ga ngelupain, berarti ga bisa ketemu sama dia. Huuuuh, ribet amat siy mo ketemu doank?! Walo begitu, aku berharapnya bisa ketemu siy. Tapi.. udah celingukan sepanjang jalan gini, kok aku ga ada lihat dia juga, ya? Mungkin hari ini memang bukan hari keberuntunganku..

Senin, 7 Januari 2008
Ternyata, bukan hanya kemarin hari sialku karena hari ini aku terbangun dengan fakta bahwa hari ini ada jadwal ujian mata kuliah yang paling tidak bisa kupahami walopun sudah kuulang dua kali. Bukannya aku tidak mau belajar, hanya saja aku sendiri bingung apa yang harus aku pelajari. Jadi ya, modal nekat aja deh..
Ya, dengan modal nekat itu, aku bersama sahabatku, Gina, berjalan kaki ke kampus. Kami sibuk berdiskusi apa yang akan ditanyakan dalam ujian nanti berhubung kami dikuliahi oleh dua dosen yang berbeda untuk mata kuliah yang sama. Saat kami sedang asyik beradu argumen, sayup-sayup kami mendengar ada suara memanggil namaku, “Reta!!”
Aku menoleh ke kanan dan melihat seseorang melambaikan tangan ke arahku. Berhubung aku tidak mengenakan kaca mataku, perlu waktu beberapa detik untuk mengenali sosoknya. Dan ternyata, itu memang dia. Wuah, senangnya bisa ketemu sama dia. Eits, jangan senang dulu! Ini kan artinya aku harus mulai ngelupain dia. Hmm, jadi ini jawaban doaku yang kemarin..
Dan ternyata tak seperti perkiraanku sebelumnya, aku rela-rela aja tuh pegang komitmen awalku buat ngelupain dia. Mungkin karena dari awal aku yakin, Tuhanlah yang paling tahu yang terbaik buat aku. Dan kurasa memang inilah yang terbaik. Mungkin selama ini aku sendiri yang menenggelamkan diriku dalam obsesi yang ga jelas juntrungannya dan sebenarnya ga penting, cuma aku terlalu gengsi untuk mengakuinya. Huh, kenapa aku baru sadar setelah sekian tahun berlalu ya? Ya, memang tidak berlalu begitu saja. Aku tahu ada hal yang ingin Tuhan sampaikan padaku melalui peristiwa ini..
Memberikan seluruh cinta kita kepada seseorang bukan jaminan dia akan membalas cinta kita. Cinta yang tulus ga mengharapkan balasan. Jadi, tunggu aja sampai cinta juga tumbuh di hatinya, atau kalo ga ya.. berbahagialah karena cinta itu tumbuh di hati kita.. Halah, ga banget siy kata-katanya..

Valentine.. Before, Now, and Then

Perayaan Valentine, yang jatuh pada tanggal 14 Februari, mulanya hanyalah tradisi bangsa Romawi. Ada yang menyebut bahwa Valentine adalah hari penghormatan kepada Dewi Juno yang dianggap sebagai dewi perempuan dan perkawinan sekaligus sebagai hari pra festival Lupercalis dimana para pemuda menarik undian yang berisi nama gadis yang menjadi pasangan mereka dan saling bertukar hadiah dengan pasangannya tersebut.
Setelah bangsa Romawi menjadi Kristen, gereja menggunakan tanggal ini untuk mengenang dua tokoh, yaitu Valentino dan Santo Valentine. Valentino yang seorang tentara Romawi dihukum mati oleh Kaisar Claudius II karena menikah dengan gadis pilihannya. Pada masa itu, kaisar tidak mengijinkan tentara untuk menikah dengan alasan untuk membendung kekuatan bala tentaranya. Sementara Santo Valentine dipukuli dengan tongkat lalu dipenggal kepalanya karena ia bersama Santo Marius dan beberapa martir lain menikahkan pasangan Romawi secara sembunyi-sembunyi. Mereka lalu disebut sebagai santo pelindung bagi pasangan yang sedang jatuh cinta.
Di masa lalu, Valentine dirayakan dengan mengadakan misa untuk mengenang Santo Valentine. Tradisi berkembang dengan meletakan bunga di makam seorang pemuda bernama Valentino yang terkenal karena ketampanannya. Lalu berkembang lagi dengan memberikan bunga kepada orang-orang terkasih. Kemudian, pemberian bunga kadang diganti dengan coklat berbentuk hati. Lalu, berkembang pula tradisi mengirimkan kartu ucapan Valentine. Konon, kartu Valentine adalah kartu ucapan yang pertama kali dibuat, lho.
Di masa sekarang, kebanyakan orang merayakan Valentine hanya sebagai perayaan hura-hura. Valentine tak cuma diadakan dalam persekutuan, tapi juga di mal, hotel, cafe, diskotek, dan tempat hiburan lainnya. Yang mengherankan, sebagian orang juga menganggap ada yang kurang jika Valentine dirayakan tanpa pasangan, sehingga tak jarang orang asal memilih pasangan dengan alasan agar tidak berstatus jomblo di hari Valentine. Padahal Valentine adalah peringatan hari kasih sayang untuk semua orang yang kita kasihi, bukan hanya pasangan saja. Tak jarang juga, perayaan-perayaan Valentine dihiasi dengan aksi mabuk-mabukan, pesta drugs, lalu berakhir dengan one night stand.
Sayang banget kan, kalo perayaan kasih sayang malah berubah jadi bencana buat kita atau orang-orang di sekeliling kita? Sebagai generasi muda, kita kudu waspada ama yang beginian. Ngerayain Valentine siy boleh-boleh aja asal kita tahu cara yang benar untuk mengungkapkan kasih sayang kita buat orang-orang yang kita kasihi dan –jangan lupa juga– kepada Tuhan. Kalau bosan dengan perayaan yang gitu-gitu aja, kita bisa coba lakukan hal baru. Misalnya saja memasak masakan spesial untuk keluarga atau memberi kejutan dengan menata ulang dekorasi rumah; memberi barang unik hasil recycle kreasi sendiri buat teman, pasangan, atau tetangga; menghibur atau memberi pelatihan kreasi seni yang unik pada pasien-pasien di rumah sakit, orang-orang yang mendekam di LP (Lembaga Pemasyarakatan), orang-orang lansia di panti jompo, siswa-siswa di SLB (Sekolah Luar Biasa), atau anak-anak panti asuhan; mengajak teman-teman mengumpulkan dana atau barang untuk disumbangkan pada yang membutuhkan, dan masih banyak lagi. Dijamin, hari Valentine kita bakal tambah seru dan pastinya berkesan!!

*dari berbagai sumber

Sabtu, 09 Februari 2008

Benci Jadi Cinta, Sayang Jadi..??

Huuuuuuuuuuh.. baru kali ini gu nemuin cowok senyebelin itu!! Masih anak baru tapi dah berani nantangin gue. Liat aja, ujian besok, giliran gue yang cetak top score di kelas. Pasti. Paastii.. Paaastiii...
“Tinaaa!! Bangun dong, Sayang. Ntar telat lagi ke sekolah. Katanya ada ujian,” teriak Mama sambil membuka jendela kamarku.
Siaul, gue telat bangun. Semalem ketiduran lagi. Aduh, gimana dong ujian gue. Mana gue belom sempet belajar lagi, kalah lagi deh ntar ama si kunyuk, pikirku sambil bergegas mandi dan bersiap memperoleh kekalahan.
Udah setengah semester ini, gue saingan nilai sama Adi, anak baru di kelas gue. Ga cuma ngerebut posisi pertama di setiap pembagian nilai tugas dan ujian, dia juga ngerebut perhatian temen-temen ma guru-guru di kelas. Padahal semester lalu, guelah yang jadi bintang dan dipuja-puji di kelas.
Saking sebelnya ma tu anak, gue dengan lantang ngobarin api permusuhan di depan tu anak. Dan ternyata, ditanggapi positif ma dia. Maka resmilah perang saudara antara kami di dalam kelas. Tak hanya, berebut nilai dan perhatian, kami juga saling menjatuhkan image lawan. Misalnya saat guru bertanya,”Siapa yang bisa menyelesaikan soal terakhir di papan tulis?”
Maka aku dengan lantang menjawab,”Rosa, Bu.”
“Rosa?” tanya bu guru sambil mengernyitkan dahi kepadaku.
“Iya, Bu. Rosadi.”
Terkekeklah seisi kelasku dan tertangkaplah wajah kusutnya yang kutanggapi dengan senyuman bahagia.
Di lain kesempatan, datang tamu kelas menanyakan siapa ketua kelasku.
Dengan girang, dia menjawab,”Tuh si Agus.”
Serempak seisi kelas menengok padanya, terutama aku. Halo, akulah sang ketua kelas yang dicari. Dan namaku bukan Agus. Gila ya, nih anak. Namaku kan.. mmhh, Agustina. Sialan!!
Yah, begitulah. Nyaris setiap hari kami berperang panas maupun dingin. Nyaris setiap bertemu kami saling mencibir. Nyaris setiap hari kami saling mencari kesalahan lawan. Nyaris setiap hari kami memutar otak untuk melakukan serangan berikutnya. Nyaris setiap hari kami merasa gelisah kalo belum melontarkan kata-kata pedas. Nyaris setiap hari kami merasa resah kalo belom bertatap-tatapan sinis. Nyaris setiap hari, kami jadi merana kalo belom menerima serangan lawan. Nyaris setiap hari, kami jadi semangat masuk sekolah tiap hari biar bisa ketemu sama.. heeeeeeeh?!
Hehe.. gitu dey. Tanpa sadar gue dah ngelewatin batas tipis antara benci dan cinta. Halah!! Eh, beneran niy. Soalnya, demi mendamaikan kami berdua, guru-guru dan teman-teman di sekolah bersekongkol menyatukan kami dalam setiap pembagian tugas kelompok dan bahkan mendudukan kami bersebelahan.
Pertama bekerja sama, kami sering banget berdebat kusir, lama-lama ga tau kenapa, dia jadi sering ngalah. Kadang-kadang, gue nangkep dia senyum-sendiri. Ih, dah gila kali ya tu anak. Kalo gue lagi bengong-bengong ga jelas, dia bertingkah konyol yang bikin gue ngakak ampe sakit perut.
Sampai akhirnya..
Gue lagi sedih gara-gara kalah dalam semifinal lomba cerdas tangkas di sekolah, sedangkan dia masuk final dan dapat juara unggulan. Gue yang malu campur sedih jadi ga konsen belajar, padahal hari itu ada ujian elektronika. Uh, ga banget deh. Gue sih oke-oke aja disuruh ngapalin rumus dan gambar rangkaian, tapi jangan suruh gue ngegambar barang elektronik. Apalagi, guru elektronika gue itu rese banget. Masak rangkaian setrika gue udah bener tapi cuma dapet 8 poin dari 10 poin maksimum. Alasannya, gambar gue ga mirip kayak setrika. Yaelah, yang penting kan rangkaiannya, bukan setrikanya.
Hari itu, guru gue nyuruh kami ngegambar rangkaian gitar listrik. Tanpa sadar gue bergumam,”Mati deh gue. Pasti ntar gue Cuma dapet 5 poin gara-gara bentuknya ga kayak gitar..”
Tiba-tiba, Adi narik lembar jawab ujian gue dan ngegambarin gue gitar listrik. Gue cuma bisa bengong doang. Tiba-tiba dia balikin kertas gue sambil bilang,”Lo bisa gambar rangkaiannya sendiri kan?”
Dan gue yang masih dalam keadaan syok cuma ngejawab,”Hhh, iya.. iya, bisa kok.”
Pulang sekolah, gue kepikiran kejadian itu terus dan baru sadar kalo gue belom ngucapin makasih. Akhirnya, gue ngubungin dia via ponsel. Gara-gara sering kerja kelompok bareng dia, gue jadi tau nomor ponselnya. Sebagai rasa terima kasih, gue ngajak dia makan di PIM (Pondok Indah Mall).
“Wah, makasih ya traktirannya. Sering-sering aja,” canda Adi yang gue jawab dengan ketus,”Sering-sering aja gigi lo!! Gue nraktir cuma sebagai rasa terima kasih gue. Sebenarnya sih gue ga berterima kasih juga ga papa kali, secara gue ga pernah minta tolong. Lo-nya aja yang merelakan diri buat ngegambar tu gitar.”
“Gue cuma bercanda kok, Tin. Lo jangan langsung ngamuk gitu dong.”
“Hah, siapa yang ngamuk? Gue kan.. bercanda juga,” jawabku kikuk.
“Oh, kirain.. Mmm, karena lo dah nraktir gue makan, gue mo nraktir lo nonton film. Terserah lo deh mo nonton apa.”
“Gue mo liat remake-an Badai Pasti Berlalu soalnya gue ngefans banget ma Vino-Haanun. Lo tahan ga nonton yang kayak gitu?”
“Apa sih yang ga buat lo,” jawabnya datar.
Heh?! Gue ga salah denger kan yang barusan?
Sepanjang nonton tu film, gue deg-degan banget, tapi pas ngelirik dia, dianya biasa aja. Gimana sih?!
Selesai nonton, gue minta ditemenin bentar ke supermarket buat beli daging cincang pesenan nyokap. Eh, di depan tukang daging, tiba-tiba dia bilang,”Tin, gue sayang ma lo. Kita jadian yuk..”
Niy anak niat jadian ga sih. Masak ngajak jadian kayak ngajak makan? Di tempat daging yang super bau, diliatin en diketawain ma tukang-tukang dagingnya lagi. Tapi berhubung gue sadar kalo gue juga sayang ama dia, ya gue jawab aja,”Eee, yuuuk..”
“Serius lo?!” tanya dia girang.
“Yaaa, serius..”
“Lo juga sayang ama gue?”
“Ya, gitu deh.”
“Yes! Yes!! YES!!” serunya.
“Eh, tapi inget, lo ga usah ngomong ke temen-temen kalo kita dah jadian.”
“Lho, kenapa?”
“Ya, ga papa sih. Jangan sekarang, ntar-ntaran aja kasi taunya.”
“Oh, oke. Beres..”
Gue pun tersenyum bahagia sampai akhirnya gue sadar... ”Yuk cepetan bayar, bau nih,” kataku sambil menutup hidung dan meninggalkan tempat daging beserta tukang-tukangnya yang saling berbisik-bisik menertawakan kami.
***
“Oh, akhirnya kalian jadian juga. Cie.. Kqkq.. Dulu katanya benci.. sekarang jadi cinta,” cecar teman-teman ketika aku baru sampai di kelas.
“Siapa yang jadian?” tanyaku berlagak pilon.
“Dih, pake nanya lagi,” cibir Rani.
“Lo ga usah sok polos, Tin. Kita semua dah pada tau kok kalo hari Minggu kemaren lo jadian ma Adi kan. Abis itu, kalian nonton plus makan siang bareng di PIM. Ya, kan? Duh, mesra amat niy pasangan baru kita,” seru Fahri.
“Bagus deh, berarti kelas kita ga bakalan kayak disatronin preman pasar. Ga bakal ribut-ribut lagi. Ya, ga temen-temen?” tanya Krista.
“Iyaaaaaaaaaa,” seru seisi kelas serempak.
“Udah, Tin, mending lo ngaku aja deh. Ceritanya kalian dah damai nih?” Cindy bertanya.
“Ga, cuma gencatan senjata doang,” jawabku keki sambil duduk dengan geram di kursiku. Pasti si kunyuk itu yang nyebarin soal jadian ini. Duh, malu banget, gue.. Awas aja tuh anak.
“Yuhu, pujaan hati Tina dah dateng tuh.”
Langsung aja gue samperin dia di depan kelas.
Seisi kelas serempak meledek,“Cie yang baru..”
“Heh, lo kan yang ngasih tau anak-anak soal jadian kita?” tukasku.
“Iya, emang kenapa?” tanyanya polos.
“Emang kenapa?! Gue kan dah bilang ngasih taunya ntar-ntaran aja.”
“Lha, ntarnya kemaren kan bisa tadi malem, ato pagi ini. Lagian lo ga usah sesewot itu kali.”
“Gue kan malu, gimana sih lo. Katanya sayang ma gue, tapi kok ga ngerti perasaan gue?”
“Heh, lo sendiri, katanya sayang ama gue, tapi kok pake malu ngaku kalo kita dah jadian?”
“Siapa bilang gue sayang ma lo?”
“Ya, elo sendiri..”
“Kapan?!”
“Kemaren pas kita jadian..”
“Masak sih?!”
“Ye, pake sok lupa segala lagi..”
“Bodo. Itu kan kemaren. Sekarang gue ga sayang ma lo lagi!!” pekikku.
“Ya, kalo gitu perasaan lo ke gue sekarang apaan dong?”
“Sebeeeeeeeeeeeeeeeel,” geramku.
“Gawat, kayaknya masa gencatan senjata udah abis nih,” gumam salah seorang temanku diikuti
anggukan lemas teman-teman yang lain.
nb: Niy cerpen emank norakz abiz. Gue emank ga bakat euy nulis2 crita. Yang penting kan mau belajar nuangin ide, daripada ide2 gue buyar smua kayak yg udah2. Sbenernya maksud gue ga senorakz ini siy, tapi jadinya malah begini doank.. Hikz..

Golongan Darah Tentukan Kepribadian Qta??

Wah, wah, menurut Human Science ABO Center Jepang, terdapat 4 dasar kepribadian yang sangat dipengaruhi oleh golongan darah. Apa aja, siy??
GOLONGAN A
- perfeksionis
- teratur/stabil
- mudah stres

GOLONGAN B
- individualis
- ambisius
- moody, destruktif


GOLONGAN AB
- rasional
- kreatif
- emosional, 'dingin'


GOLONGAN O
- berjiwa kepemimpinan
- hangat/penuh kasih
- ambisius

Nah, bener ga tuh?! Tapi walopun itu sifat dasar, sifat-sifat tersebut bisa berubah atau berbeda, tergantung dari lingkungan maupun keinginan kuat si individu itu sendiri. Pelihara sifat yang positif n buang jauh-jauh yang negatif. Wokeh?!

Penguatan Radio Komunitas sebagai Media Pemberdaya Masyarakat

(Yak, ini dy paper jagoan gue yg secara ajaib bikin nilai C gue kecuci jadi A. HipHipHurray!! Walo gue jg ga ngerti kenapa.. Berhubung niy paper ancur bgt -biasa kerja rodi semaleman gethoo..)
Radio komunitas adalah stasiun siaran radio yang dimiliki, dikelola, diperuntukkan, diinisiatifkan, dan didirikan oleh dan untuk sebuah komunitas tertentu, karenanya radio ini sering disebut sebagai radio rakyat, radio sosial, atau radio alternatif. Sementara pelaksana kegiatan siarannya disebut sebagai lembaga penyiaran komunitas.
Radio komunitas sebenarnya merupakan media pemberdayaan masyarakat karena radio ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas atau keberdayaan masyarakat, baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya, tergantung dari kepentingan masing-masing komunitas. Media jenis radio dianggap memiliki kekuasaan yang besar dalam upaya memberdayakan masyarakat. Hal ini dikarenakan radio memiliki siaran yang sifatnya langsung dan tidak membutuhkan proses yang lama dan kompleks, siaran radio tidak mengenal jarak dan rintangan, radio memiliki daya tarik yang kuat berkat tiga unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu musik, kata-kata, dan efek suara (Effendy, 1981: 137-143).
Oleh karena itu, sajian isi radio ini adalah informasi-informasi untuk memberdayakan dan hiburan yang akrab dengan masayarakat dalam suatu komunitas tertentu, dan program-program yang disajikan di dalamnya wajib dikemas dalam nuansa budaya lokal komunitas tersebut. Hal ini bertujuan agar keberadaan radio komunitas dapat merangsang minat anggota komunitas tersebut untuk bersama-sama saling membangun komunitasnya sekaligus bertukar pikiran dalam mencari solusi bagi masalah-masalah sesama anggotanya.
Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipegang oleh radio ini, yaitu:
1. Radio komunitas diperuntukan bagi kepentingan masyarakat.
2. Isi atau paket siaran radio ini berdasarkan kondisi riil masyarakat. Artinya, siaran radio ini menanggapi potensi yang dimiliki masyarakat komunitasnya agar potensi tersebut dapat dikembangkan sekaligus mencoba mencari solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitas tersebut.
3. Radio ini dibentuk atau dibangun secara bersama-sama oleh masyarakat dan dikelola oleh manajemen yang terdiri dari masyarakat itu sendiri, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan kebijakan-kebijakan radio tersebut.
4. Paket siaran radio komunitas dibuat dengan tujuan agar merangsang muncul, tumbuh, dan kembangnya dialog antaranggota komunitas tersebut mengenai isu-isu penting, terutama yang terkait dengan kehidupan komunitas tersebut.
5. Dialog yang berkembang dalam komunitas tersebut diharapkan dapat memunculkan rumusan solusi untuk memecahkan masalah-masalah yang harus dihadapi oleh komunitas tersebut.
Radio komunitas berkembang cukup pesat di Indonesia, terutama dalam komunitas masyarakat petani, buruh, dan pedagang di daerah pedesaan. Hal ini bisa jadi terbatasnya media yang dapat menjangkau mereka. Bahkan bisa dikatakan, radio merupakan satu-satunya media yang dapat menjangkau masyarakat kelas petani dan buruh yang tinggal di pedesaan, apalagi jika desa tempat tinggal mereka tersebut terpencil.
Karena diperuntukan bagi komunitas tertentu, jangkauan siarnya pun dibatasi oleh pemerintah. Yang disayangkan, menurut PP No. 51 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Komunitas, penyiaran komunitas dibatasi maksimum 2,5 kilometer dari lokasi pemancar atau dengan ERP (Effective Radiated Power) maksimum 50 watt. Tentu saja peraturan ini sangat memberatkan masyarakat dalam memperoleh haknya mengelola dan dilayani oleh sebuah radio komunitas. Hal ini dikarenakan jangkauan siar yang dipersyaratkan dalam peraturan tersebut sangat pendek, sementara ERP yang diperbolehkan pun sangat lemah. Ini membuat dalam suatu komunitas, tidak semua anggota dapat terjangkau oleh siaran radio tersebut, apalagi jika daerah tempat tinggal mereka cukup terpencil. Jika demikian, bagaimana radio komunitas dapat menjalankan fungsi dan peranannya dengan baik?
Saya sendiri pernah ikut serta dalam siaran radio komunitas warga jurusan ilmu komunikasi FISIP UGM sebagai bagian dari tugas praktik salah satu mata kuliah saya bersama dengan teman-teman saya yang lain. Saat teman-teman kelompok lain melakukan siaran yang berlokasi di kampus FISIP UGM di Sekip, saya membawa radio ke kampus FISIP di Bulak Sumur. Selama mendengarkan siaran bersama teman-teman lain, kami merasa sangat tidak nyaman karena suara yang terdengar di radio sangat amat tidak jelas. Padahal lokasi kampus FISIP di Bulak Sumur masih dalam jangkauan siar radio ini. Ketidaknyamanan ini disebabkan lemahnya ERP yang digunakan oleh radio ini akibat peraturan pemerintah mengenai ERP sebagai salah satu syarat siaran radio komunitas. Karenanya saya yakin, radio komunitas tidak akan berfungsi secara efektif dan efisien jika masih dikekang oleh peraturan ini. Bagaimana radio ini dapat berperan maksimal dalam memberdayakan masyarakat sementara mendengar siarannya saja pun tidak terasa nyaman?
Di Indonesia, radio komunitas mulai berkembang pada tahun 2000 sebagai salah satu bentuk reformasi politik dalam bidang komunikasi penyiaran setelah era reformasi pada tahun 1998 yang memperkuat potensi dan daya penetrasi radio dalam konteks demokratisasi, yang ditandai dengan runtuhnya penguasa otoriter media nasional Indonesia, Departemen Penerangan. Dinamika radio Indonesia memang sedang menuju industri penyiaran berbasis regulasi. Meski prosesnya masih menampilkan kesimpangsiuran acuan, akibat benturan regulasi antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan lembaga Kementrian Komunikasi dan Informatika, gejala ini masih bisa dipandang secara positif sebagai proses menuju penyiaran yang demokratis (Jonathans, 2006: 244).
Pengakuan terhadap keberadaan radio komunitas sebenarnya dapat menunjukan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh menegakkan asas-asas demokrasi Pancasila. Yang pertama adalah hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Dasar negara kita dimana disebutkan bahwa warga negara berhak memperoleh informasi dan mengeluarkan pendapat, dan radio komunitas mewadahi perwujudan hak-hak tersebut.
Yang kedua adalah asas keadilan. Tak dapat dipungkiri bahwa komunikasi beserta teknologi-teknologinya membawa pengaruh penting dalam proses pembangunan, namun ada dua hal yang dapat disorot dari konsep komunikasi pembanguan menurut Rogers dan Adhikarya dalam kaitanya dengan radio komunitas, yaitu anggapan seakan-akan komunikasi dengan sendirinya menggerakkan pembangunan, lepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang ada dan pandangan bahwa inovasi teknologi merupakan kunci (yang bergaransi) peningkatan produktivitas, tanpa mempersoalkan siapa yang akan menikmati dan siapa yang dirugikan. Kedua pemikiran tersebut mempengaruhi pendekatan komunikasi selama ini yang menyebabkan apa yang disebut sebagai efek komunikasi (communication-effect gap). Hal ini terjadi akibat komunikasi yang tidak memadai dan tidak merata (Nasution, 2007: 161).
Dengan berlakunya otonomi daerah di Indonesia, pemerintah sudah seharusnya mendukung pemerataan sistem penyiaran sebagai salah satu perwujudan keadilan sosial bagi masyarakat. Apalagi, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki jenis kebutuhan yang berbeda satu dan lainnya sehingga radio komunitas tak hanya dapat mewujudkan keberagaman kepemilikan media siaran, tetapi juga keberagaman isi siaran. Di samping itu, frekuensi siar adalah milik masyarakat yang dikelola oleh pemerintah agar diatur sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, masyarakat berhak mengelola dan dilayani oleh radio komunitas yang bertujuan mengakomodasi kebutuhan spesifik dari komunitas tertentu karena pemerintah memang telah mengkhususkan jangkauan frekuensi tertentu untuk siaran radio komunitas, yakni pada frekuensi 107,7 hingga 107,9 FM.
Radio komunitas di Indonesia memang sengaja diletakkan pada jalur FM (Frequency Modulation) dan bukan AM (Amplitude Modulation) meskipun jangkauan siar jalur AM lebih luas dibandingkan dengan jalur FM. Hal ini dikarenakan FM dapat menghilangkan interference (gangguan, percampuran yang disebabkan cuaca, bintik-bintik matahari, atau alat listrik, dapat menghilangkan interference yang disebabkan oleh dua stasiun yang bekerja pada gelombang yang sama, dan dapat menyiarkan suara yang jauh lebih baik daripada FM ke telinga manusia yang sensitif (Effendy, 1981: 146).
Yang terakhir adalah informasi itu sendiri. Lembaga penyiaran berperan penting dalam proses penyampaian informasi yang sembang dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Radio komunitas juga merupakan lembaga penyiaran yang memiliki peranan penting sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol serta perekat sosial, sesuai dengan fungsi dan peranan lembaga penyiaran itu sendiri.
Meski dikekang dengan peraturan yang kurang relevan, masyarakat Indonesia cukup antusias dalam mengelola maupun menyambut keberadaan radio komunitas. Hal ini terbukti dari jumlah radio komunitas di Indonesia saat ini yang mencapai kisaran 300 stasiun radio.
Selain itu, rupanya kita juga patut bangga dengan pemerintah Indonesia karena negara kita ini merupakan salah satu negara di Asia yang cukup maju dalam perkembangan radio komunitas, terutama jika dibandingkan dengan beberapa Negara di Asia lainnya. Misalnya saja, Malaysia. Di negara ini, radio komunitas tidak diakui keberadaannya. Sementara di Thailand, sudah ada undang-undang yang mengatur mengenai radio komunitas, tetapi mereka tidak menjalankannya. Adapun di Srilanka, pemerintah turut campur dalam pengelolaan radio komunitas, salah satunya adalah dengan mengambil alih sekitar sepuluh radio komunitas di sana.
Dilihat dari segi konsep, siaran radio komunitas sebenarnya sangat simpel. Radio swasta yang menjamur di tiap daerah di Indonesia mayoritas memfokuskan siarannya untuk usaha dan bisnis sehingga kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam komunitas tertentu kurang terakomodasi. Radio komunitas hadir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang kurang terakomodasi tersebut, seperti kebutuhan komunitas sekolah atau kampus mengenai siaran pendidikan; kebutuhan komunitas petani mengenai berbagai informasi seputar pertanian, seperti harga pupuk, cara-cara bertani yang baik dan benar; kebutuhan komunitas pengrajin mengenai informasi seputar bisnis kerajinan dan cara mengembangkannya, baik di pasar lokal, regional, maupun internasional; dan sebagainya. Jadi acara-acara yang ditawarkan oleh penyiaran radio mencerminkan ‘need and wants’ yang bernilai bagi masyarakat (Prayudha, 2005: 9) komunitas tertentu.
Selain alasan tersebut di atas, radio komunitas sebenarnya dapat mengakomodasi beberapa kendala yang bisa menghampiri masyarakat. Yang pertama, warga masyarakat, terutama yang tinggal di wilayah terpencil, mayoritas kurang bisa berorganisasi dengan baik. Hal ini dikarenakan adanya disintegrasi dalam masyarakat karena mereka dibatasi oleh sekat-sekat tertentu yang menahan mereka di tingkat desa atau kampung. Radio komunitas dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan mereka dan menghancurkan sekat-sekat penahan tersebut dan bahkan dapat membuat mereka keluar dari kekangan disintegasi dan melihat apa yang terjadi di luar komunitas mereka.
Yang kedua adalah lemahnya akses informasi bagi masyarakat. Lembaga tingkat desa memiliki tangung jawab atas kinerjanya kepada masyarakat dan masyarakat berhak mengawasi kinerja aparat desa. Tetapi hal ini tidak dapat diwujudkan karena tidak adanya akses, sehingga masyarakat sering kali tidak tahu-menahu mengenai kinerja aparat desanya. Radio komunitas dapat mengakomodasi kebutuhan akses informasi ini dan membantu masyarakat dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja aparat di tingkat desa.
Kendala pertama dan kedua di atas sebenarnya tak hanya dapat diwujudkan dengan dibentuknya radio komunitas. Pembuatan buletin secara berkala juga dapat mengatasi kedua kendala di atas. Tetapi nantinya akan muncul kendala ketiga dimana keberadaan bulletin kurang dapat ‘menyentuh’ kebutuhan masyarakat. Hal ini dikarenakan kurangnya minat baca masyarakat. Tak hanya terkungkung pada minat baca yang rendah, sebenarnya masih banyak warga masyarakat di Indonesia yang tidak memiliki kemampuan literasi yang memadai. Jadi, sudah pasti bahwa buletin tidak akan mampu ‘menyentuh’ kebutuhan masyarakat, apalagi jika yang kita bicarakan di sini adalah masyarakat kalangan menengah ke bawah dan yang berpendidikan rendah. Karenanya, keberadaan radio komunitas menjadi sangat penting bagi masyarakat Indonesia dalam mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan mereka akan kebutuhan informasi spesifik mereka.
Radio komunitas sudah terbukti memberi dampak yang baik pada komunitas tempatnya bernaung. Contohnya cerita dari Radio Primba yang berlokasi di Kompleks Kantor Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Radio ini menyiarkan paket program-program yang berisi hiburan dan informasi di bidang kesehatan, pendidikan, kehutanan, dan kreativitas masyarakat. Adapun anggota komunitas tempat radio ini bernaung mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang, sehingga informasi-informasi dan hiburan-hiburan yang tersaji dalam paket program siar radio ini dapat bermanfaat bagi mereka.
Adapula kisah dramatis dari Radio Pelangi, radio komunitas yang berlokasi di Desa Panyingkiran, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, yang letak studio siarannya bersebelahan dengan kantor desa. Ruang studio radio ini amat sempit, hanya berukuran 2x3,5 meter persegi dan perangkat siarannya pun sangat sederhana.
Radio ini dibentuk dengan tujuan mengapresiasi masyarakat agar memprioritaskan pendidikan, terutama bagi generasi muda. Daerah tempat radio ini bernaung merupakan daerah berpenduduk miskin. Karenanya, tidak mengherankan jika warga desa ini mendorong anaknya untuk bekerja, ketimbang menimba ilmu. Sehingga bagi mereka, anak tak perlu bersekolah tinggi-tinggi, yang penting bagaimana anak dilatih agar dapat mencari nafkah. Jadi tak heran jika mayoritas penduduk di desa ini hanya mengecap bangku SD (Sekolah Dasar) saja. Biasanya setelah tamat sekolah, anak-anak mereka dikirim untuk bekerja di luar negeri.
Untuk mengarahkan prioritas yang menyimpang tersebut, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) membentuk radio komunitas ini. Pelaksanaan kegiatan ini rupanya didukung oleh aparat desa beserta segenap masyarakat desa tersebut. Dengan dana terbatas, mereka mengoperasikan radio ini. Adapun aparat dan masyarakat desa terlibat penuh dalam proses penyiaran radio ini. Mereka dilatih menjadi penyiar radio, sehingga dapat bergantian bertugas siaran dan hal ini mereka lakukan dengan sukarela.
Selain masalah kurangnya prioritas orang tua terhadap pendidikan anak, radio ini juga berupaya menggugah minat baca anak-anak muda dalam komunitas ini. Penyiar yang mereka latih, mau tak mau harus giat belajar untuk memperoleh informasi yang dapat disiarkan. Sementara bagi anak-anak lain, mereka sediakan sanggar membaca yang terletak di sebelah studio radio ini. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan membuat perpustakaan keliling agar peningkatan minat baca juga menjangkau anak-anak yang tempat tinggal agak jauh dari lokasi studio siaran.
Tak jauh berbeda dengan Radio Pelangi, terdapat Radio Rasima yang berlokasi di Kompleks Taman Islam atau tepatnya di Jalan KH Abdul Hamid KM 4, Desa Situ Udik, Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat, cukup panas. Radio ini juga memiliki studio siaran yang sempit, bahkan sebenarnya studio ini adalah tempat dagang pupuk yang karena belum tersedianya modal, diijinkan oleh pemiliknya untuk sementara menjadi studio radio.
Penyiar radio ini juga amatiran, tetapi mereka tidak diberikan pelatihan khusus. Mereka dibiarkan siaran tanpa pola tertentu, sehingga gaya siaran tiap penyiarnya berbeda. Tetapi rupanya, hal inilah yang menarik minat masyarakat mendengar siaran radio ini, yang mayoritas adalah pemuda, peternak sapi perah, dan petani.
Adapun tujuan dibentuknya radio ini adalah agar masyarakat dalam komunitas tempat radio ini bernaung menjadi melek media. Maksudnya, mereka memiliki misi agar masyarakat pedesaan dapat membaca makna di balik simbol-simbol, mencari, memilih, memilah, mengoperasikan, dan memproduksi program atau berita dalam sebuah media, dalam hal ini radio. Mereka ingin agar masyarakat tidak menjadi melulu diposisikan sebagai obyek media massa, melainkan juga sebagai subyek, yang oleh karenanya berhak menentukan suatu program sesuai dengan kondisi lingkungannya dan kebutuhannya atau tidak.
Bila Radio Pelangi membuat sanggar baca dan perpustakaan keliling, Radio Rasima juga tak mau ketinggalan dengan mengoleksi buku-buku dan majalah-majalah bekas bagi warga desa di stusio siaran. Selain itu, mereka juga berupaya membuat sebuah lembaga berbentuk koperasi yang bertujuan memberdayakan masyarakat dalam bidang ekonomi, khususnya untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah.
Walau didukung oleh berbagai manfaat, beberapa pihak mengkhawatirkan kemungkinan buruk sebagai dampak dari keberadaan radio komunitas. Salah satunya adalah masalah frekuensi siaran yang dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan buruk yang dapat merugikan, baik masyarakat, maupun pemerintah. Tetapi masalah ini dapat dicegah dengan adanya peraturan untuk mengurus ijin mengenai pembentukan radio komunitas. Jika tidak ada surat ijin resmi, maka pemerintah dapat mengurus penutupan siaran radio tersebut. Adanya batasan jangkauan siar dan ERP sehingga siaran-siaran semacam itu tidak menyebar luas dan dapat ditanggulangi dengan segera.
Selain itu, juga berkembang suatu wacana di dalam masyarakat dimana radio komunitas disinyalir dapat memicu perpecahan pada level arus bawah. Tetapi sebagian pihak, termasuk UNESCO menanggapi bahwa keberadaan radio komunitas justru dapat menciptakan tradisi demokrasi di kalangan masyarakat dengan memberikan wadah aspirasi bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang berada pada lapisan bawah, yang selama ini aspirasinya tak didengar gaungnya.
Agar tidak terjadi penyalahgunaan siaran dan mencegah terjadinya efek buruk siaran sehingga radio komunitas dapat terselenggara dengan baik dan tujuan siaran radio ini dapat tercapai, maka pengelola radio ini dapat melakukan hal-hal sebagai berikut.
1. Membentuk tim pelaksana pembangunan radio komunitas. Angota yang dimasukkan dalam tim ini harus bervariatif dan kompeten terhadap keberlangsungan hidup radio ini, seperti orang lokal yang menguasai bidang elektronik maupun kesenian, serta pemandu dialog atau penyiar yang dapat besasal dari mana saja, seperti kaum muda, tokoh masyarakat, maupun realawan dari masyarakat umum.
2. Mendiskusikan pelaksanaan pembangunan radio dengan teknisi radio. Adapun pokok bahasan diskusi ini adalah mengenai perangkat yang dibutuhkan, cara merakit perang-perangkat tersebut, cara menggunakan perangkat tersebut untuk penyiaran, pembuatan ijin siar, cara memproduksi paket-paket atau program-program siaran, dan sebagainya.
3. Mendirikan atau membentuk radio komunitas. Untuk mendirikan radio komunitas, penyelenggara harus mempertimbangkan sumber dana, lokasi studio, nama radio, dan sebagainya. Semuanya itu harus disetujui oleh segenap masyarakat yang bernaung dalam komunitas radio tersebut dan masyarakat harus ikut merasa memiliki radio tersebut. Caranya bisa dengan melibatkan masyarakat dalam mengelola radio tersebut.
4. Mengisi paket siaran. Dalam membuat paket-paket siaran radio komunitas, penyelenggara harus mempertimbangkan maslah-masalah yang dihadapi masyarakat. Artinya paket-paket siaran tersebut harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat komunitas itu sendiri. Jenis siarannya dapat bervariasi, baik berupa dialog maupun hiburan yang akrab dengan keseharian komunitas tersebut, seperti humor yang bisaa dicandakan, kesenian rakyat, drama radio mengenai kehidupan sehari-hari, dan sebagainya. Yang tak kalah pentingnya adalah perencanaan proses produksi, pencarian dana, komposisi waktu siar, dan penanggung jawab tiap paket siaran agar tidak terjadi tumpang tindih tugas.
5. Mengevaluasi siaran dan hal-hal di balik siaran radio. Kegiatan ini harus melibatkan anggota komunitas agar mereka juga merasa memiliki radio ini. Untuk itu, ada baiknya jika kegiatan evaluasi dilakukan dalam pertemuan/rapat komunitas. Evaluasi harus dilakukan secara berkala, misalnya dua minggu atau sebulan sekali. Dengan evaluasi, anggota komunitas tak hanya dapat memberi kritik, tetapi juga dapat mengajukan saran-saran agar radio ini makin berkembang.
Kelima langkah ini dapat menjadi salah satu cara memberdayakan masyarakat di samping penyelenggaraan radio komunitas itu sendiri sehingga tujuan dari pembentukan radio komunitas itu sendiri sebagai media pemberdaya masyarakat dapat lebih mudah tercapai.
Radio komunitas merupakan media penting bagi pemberdayaan masyarakat. Hal ini sudah dibuktikan oleh pengalaman yang dialami oleh berbagai radio komunitas di Indonesia dan memang sudah terlihat dampaknya. Untuk itu, sudah seharusnya bila pemerintah harus mendukung keberlangsungan siaran radio sejenis ini dan kita sebagai masyarakat berperan serta dalam mengawasi keberlangsungan siaran radio ini agar tetap berada pada jalur tepat guna sehingga peranan dan fungsinya dapat berjalan seiring dengan pengembangan dan inovasi program-program radio ini, baik on air maupun off air agar keberdayaan masyarakat kita makin meningkat, terutama dalam bidang sosial, budaya, dan ekonomi, dan termasuk di dalamnya bidang pendidikan. Dengan demikian, keadilan dan kesetaraan kesejahteraan masyarakat bangsa ini pun dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Effendy, Onong Uchjana. 1981. Dimensi-dimensi Komunikasi. Bandung: Penerbit Alumni.
Jonathans, Errol. 2006. Socrates di Radio: Esai-esai Jagat Keradioan. Yogyakarta: Gongplus.
Prayudha, Harley. 2005. Radio: Suatu Pengantar untuk Wacana dan Praktik Penyiaran. Malang: Bayumedia.
Nasution, Zulkarimen. 2007. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Artikel Online
http://id.wikipedia.org
http://p2kp.org
http://radiokomunitas.blogspot.comhttp://slaksmi.wordpress.com

Film Indonesia: Bangkit dari Kubur atau Bernafas dalam Lumpur?

(Akhirnya, melalui paper ini, nilai filmo gue yang tadinya C naek dikit jadi B. Lumayan to?!)
Pendahuluan
Setelah lama tak terlihat sepak terjangnya, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kehadiran film keluarga berjudul Petualangan Sherina yang mengusung genre musikal anak dan dimainkan secara apik oleh duet Sherina Munaf dan Derbi Romeo.
Kejutan yang disuguhkan seakan tak berhenti sampai di situ saja karena dilanjutkan dengan peluncuran film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC?) yang dimainkan secara apik oleh Dian Sastro dan Nicolas Saputra. Walau alur cerita film ini mudah ditebak dan tidak ada hal spektakuler di dalamnya, tetapi film ini berhasil membuat kesan yang mendalam di dalam hati penontonnya. Tak hanya gedung bioskopnya yang penuh sesak saat masa penayangannya, tapi VCD filmnya pun laris manis di pasaran dan banyak dipinjam di tempat-temapat persewaan film. Bahkan beberapa kali film ini diputar di televisi selalu memperoleh rating penonton yang cukup bagus.
Tak cukup sampai di situ, film AADC? juga berdampak pada acara televisi nasional, terutama program-program sinetron dan film televisi. Sinetron dan film TV yang biasanya berkisah seputar kehidupan dewasa atau keluarga dengan serempak beralih ke cerita seputar kehidupan anak sekolah metropolitan.
Otomatis, film ini dianggap sebagai tonggak awal kebangkitan film nasional. Dan memang sejak kemunculan film ini, sineas-sineas di Indonesia mulai berlomba-lomba membuat film. Sineas yang lantas naik ke permukaan adalah sineas-sineas muda, sehingga film-film yang dihasilkan pun lebih diperuntukan bagi anak muda Indonesia.
Maka mulailah sineas-sineas membuat film bergenre drama romantis yang cukup laris di pasaran. Bahkan film berjudul Eiffel, I’m in Love tak hanya berhasil mengundang ribuan penonton, tapi juga membuat beberapa calon penontonnya pingsan karena riuhnya suasana saat mengantri beli tiket, yang menunjukan betapa tingginya antusias anak-anak muda Indonesia dalam menyambut film ini. Padahal alur film ini mudah ditebak, apalagi jika penonton sudah pernah membaca novel yang dijadikan acuan cerita yang tak kalah mudahnya juga ditebak. Belum lagi akting para pemainnya yang sangat standar, bahkan jauh dari bagus. Tetapi kehadiran film ini dapat turut menunjukan antusiasme masyarakat, terutama anak muda Indonesia, dalam menyambut kehadiran film-film nasional.
Film lain yang turut mengundang sensasi di awal kebangkitan film nasional adalah Jelangkung. Film bergenre horor ini juga berhasil meraih simpati masyarakat. Walaupun ending-nya cukup bisa tertebak, tapi film ini menawarkan warna baru dimana saat itu film yang muncul didominasi genre drama romantis.
Karena film ini sangat sukses di pasaran, sineas lain berupaya membuat film-film selanjutnya dalam genre horor. Pergerakan genre horor tak hanya di gedung bioskop semata, tapi juga merambat ke jaringan program televisi nasional. Sinetron dan film TV berlomba-lomba menampilkan kesan horor dalam tayangan mereka. Yang menurut saya lucu, beberapa (baca: banyak) sinetron drama anak muda yang bergenre drama yang awalnya penuh lika-liku percintaan, tiba-tiba memasukan unsur horor ke dalam cerita yang menjadikan alur ceritanya kacau-balau dan tidak nyambung lagi. Setelah beberapa episode memunculkan berbagai jenis hantu, barulah ceritanya kembali lagi ke alur drama romantis.
Jadi jika ada pertanyaan ‘benarkah perfilman Indonesia telah bangkit?’ maka muncul celetukan melecehkan dari sana-sini yang menyebut kebangkitan film Indonesia bukan bangkit dari mati surinya melainkan bangkit dari kuburnya.

Ruang Gerak Film Indonesia
Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya. Sayangnya, kekayaan seni dan budaya nasional justru amat jarang dimasukan sebagai unsur dalam film nasional, baik sebagai unsur penting maupun unsur pendukung. Padahal jika melihat dari sejarah perfilman di Indonesia, film awalnya dianggap sebagai kelanjutan dari pentas seni peran tradisional semacam wayang, ludruk, atau ketoprak. Yang membuat masyarakat antusias dengan film adalah setting film terlihat lebih nyata dan ada efek-efek khusus yang membuat film makin menarik untuk ditonton.
Saat ini film-film lokal kita banyak didominasi oleh budaya metropolis, baik gaya hidup, aksesoris berupa benda-benda mewah atau barang-barang berteknologi tinggi, bahasa-bahasa gaul yang makin amburadul, dan detil lainnya yang justru hanya mencerminkan sebagian kecil dari budaya yang ada di dalam masyarakat. Ini menjadikan film-film kita kurang riil dan memberi kesan agak berlebihan.
Yang pasti, dari berbagai hal yang sering diangkat dalam film lokal tersebut, tampak jelas bahwa film-film lokal kita mayoritas memang diperuntukan bagi kaum muda atau orang-orang yang masih berjiwa muda. Apalagi pemain-pemain yang digandeng kebanyakan juga aktor dan aktris muda, bahkan tak jarang masih sangat belia. Ceritanya pun berkisar kisah dan konflik yang khas anak muda.
Hal ini menunjukan kurangnya variasi dalam produksi film Indonesia dan ini tentu sangat disayangkan. Sineas boleh produktif, tetapi kurang kreatif dalam mengolah area yang ada. Misalnya memproduksi film drama keluarga seperti Petualangan Sherina atau Denias Senandung di Atas Awan, film laga, film teka-teki bak detektif, film kartun atau animasi, film fiksi ilmiah, atau film-film jenis lain yang masih jarang diproduksi di Indonesia, tetapi dapat menjadi lahan baru yang cukup menjanjikan.
Jika diamati, penonton film di Indonesia terbagi dalam 3 kelompok besar. Yang pertama adalah penonton yang menganggap film sebagai sebuah karya seni. Kelompok ini tentunya sangat selektif dalam memilih film yang akan mereka tonton dan tidak akan mau disuguhi film-film yang tidak bermutu. Kelompok berikutnya adalah penonton yang mengikuti arus. Penonton jenis ini bisaanya tidak terlalu selektif, mereka hanya menonton berdasarkan pamor film tersebut. Dan kelompok terakhir adalah penonton yang menganggap film tak lebih dari sekedar hiburan. Penonton jenis ini menerima film apapun juga, tanpa seleksi lebih lanjut.
Jadi, selalu ada area bagi para sineas yang ingin meluncurkan filmnya ke pasaran tanpa perlu merasa khawatir untuk mencoba genre film lain dengan alasan kurang komersil atau kurang ‘menjanjikan’. Apalagi ada banyak cara untuk menarik perhatian masyarakat untuk menonton film mereka.
Yang pasti, tema dan cerita film harus dibuat semenarik mungkin, dapat juga dengan menampilkan aktris atau aktor yang berpenampilan menarik dan memiliki kemampuan akting yang memadai. Dengan kemasan demikian, film dengan genre apapun akan terlihat bagus. Sementara kualitas cerita dapat ditambahkan dengan memberi pesan-pesan moral dalam berbagai isu-isu yang kerap kali dialami oleh masyarakat di Indonesia seperti masalah pendidikan, kesehatan, pemanasan global, toleransi umat beragama atau berlainan suku, dan sebagainya sebagai ganti dari dominasi konflik-konflik seputar percintaan anak muda.
Walau masih banyak kekurangan di sana-sini, masyarakat Indonesia boleh bangga dengan pencapaian angka produksi dan perilisan film lokal di tahun 2007 lalu yang sudah melewati angka lima puluh. Walaupun angka ini belum mencapai angka produksi film lokal di era sebelum 1990-an yang tiap tahunnya menghasilkan 70- 100 judul film, tetapi angka ini sudah menunjukan bahwa tak hanya masyarakat Indonesia yang antusias menyambut kehadiran film-film lokal, para sineas kita pun cukup antusias dalam memproduksi film.
Dari data perilisan film Indonesia pada tahun 2007 yang saya peroleh (saya paparkan dalam paper yang saya kulpulkan), tampak jelas bahwa ada 3 genre yang mendominasi film-film lokal, yaitu drama, komedi, dan horor. Ketiganya memang merupakan genre yang paling diminati masyarakat Indonesia.
Agaknya masyarakat Indonesia memang menyukai cerita yang sekedar menghibur dan tidak penuh dengan teka-teki yang harus memeras otak untuk memikirkan bagaimana kelanjutan cerita yang mereka tonton. Kata menghibur yang saya maksud di sini bukan hanya menimbulkan perasaan senang atau bahagia, tapi juga perasaan terharu, deg-degan, dan shock. Jadi rasa terhibur penonton tak hanya terekspresi melalui senyum dan gelak tawa, melainkan juga lewat derai air mata haru dan teriakan histeris.
Film komedi jumlahnya memang belum begitu banyak, baru sekitar 9 judul dari 51 total judul produksi. Film drama masih merajai genre film di Indonesia dengan total 22 judul film. Tetapi genre ini masih terbagi lagi, menjadi drama romantis yang tentu saja masih mendominasi genre ini, dan drama keluarga, seperti Anak-anak Borobudur atau Nagabonar Jadi 2.
Sementara film horor tak mau kalah dengan produksi 21 judul film, yang artinya sudah sedikit melampaui film drama romantis yang sebelumnya sempat merajai dominasi genre film lokal. Tetapi fenomena maraknya film horor menimbulkan polemik tersendiri, baik di kalangan para sineas, pengamat film, maupun masyarakat awam selaku peonton film ini.
Sebenarnya, kejayaan dinasti film horor dan drama di Indonesia saat ini tak lepas dari orientasi konsumsi film penonton Indonesia itu sendiri. Kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu memang dipengaruhi oleh hal-hal berbau gaib. Buktinya adalah kebudayaan kita yang sarat nilai-nilai animisme dan dinamisme. Sampai saat ini pun, masyarakat Indonesia masih memegang berbagai tradisi yang cenderung bersifat mitos dan legenda. Hal inilah yang kemungkinan besar mempengaruhi orientasi penonton kita yang menyukai drama-drama percintaan seperti yang ada dalam cerita legenda Indonesia dan film-film horror yang kerap identik dengan mitos-mitos yang sejak dahulu dibicarakan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.

Fenomena Film Horor
Seperti telah saya ungkapkan pada bagian pendahuluan, film horor menjadi fenomena penuh pro kontra. Pro kontra di kalangan para sineas terjadi karena tujuan dan visi yang berbeda dalam benak para sineas itu sendiri. Ada yang menganggap bahwa film horor juga merupakan film bernilai seni tinggi dan sangat menarik untuk diangkat di layar lebar. Sementara sineas lain hanya menganggap film horor sekedar proyek untuk memperoleh penonton sebanyak mungkin dan memperoleh keuntungan komersil yang tinggi karena saat ini masyarakat Indonesia masih menggemari hal-hal berbau gaib.
Para pengamat film sendiri ada yang berpendapat bahwa film horor lokal sudah pasti digolongkan sebagai film-film kacangan dengan mutu rendah, tetapi ada sebagian kecil yang mengatakan bahwa film horor memang membutuhkan kreativitas yang tinggi agar menimbulkan kesan yang mendalam dalam benak penonton, sehingga tidak sembarang sineas dapat berhasil memproduksi film bergenre ini.
Sementara penonton memiliki pendapat yang lain lagi. Bagi sebagian penonton, film horor menjadi film yang paling dihindari karena menimbulkan perasaan takut yang berkepanjangan setelah menontonnya. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh penampilan hantu-hantu yang bergentayangan pada setiap film horor produksi Indonesia, entah itu bernama-nama tradisional seperti tuyul, pocong, nyi blorong, nyi roro kidul, wewe gombel, kuntilanak, genderuwo, sundel bolong, jelangkung, dan sebagainya, atau hantu-hantu dengan nama yang lebih modern yang juga tak kalah bekennya, yaitu suster ngesot.
Sementara sebagian lainnya justru merasa terhibur dengan kehadiran fil-film bergenre ini, baik dengan alasan para pemainnya yang cantik dan ganteng maupun penampilan hantu-hantu yang menarik (baca: mengerikan). Sebagian penonton merasa bahwa film horor dapat memompa adrenalin mereka dan mereka merasa terhibur karenanya, tak peduli bahwa tak ada pesan moral atau pengetahuan apapun yang mereka peroleh dari menonton film-film tersebut.
Saya rasa pendapat yang kedua ini ada benarnya. Saya bukan penggemar film horor, bahkan bisa dibilang sangat menghindari hal-hal berbau gaib dalam kehidupan saya. Saya lebih suka menonton film bergenre thriller karena lebih menantang saya untuk berpikir apa dan siapa yang ada di balik setiap peristiwa yang terjadi daripada film horor yang sudah dapat ditebak ujung ceritanya.
Sebenarnya film horor memang dapat menjadi film fiksi bermutu tinggi, jika didukung oleh unsur-unsur bermutu di dalamnya. Sayangnya, saya jarang menemukan hal-hal bermutu dalam film horor produksi lokal. Jalan cerita dalam film horor lokal masih didominasi drama percintaan standar seperti cerita cinta segi sekian atau perselingkuhan dan akting pemain utama yang kurang memadai. Porsi tampilan para pemain cukup besar, tetapi sepanjang cerita bergulir mereka hanya ngobrol ngalor-ngidul sampai kemudian sang hantu yang ditunggu-tunggu muncul.
Film-film horor lokal memang hanya mengandalkan hantu-hantu seram untuk menakut-nakuti penonton, tetapi ceritanya sendiri tidak membekas dalam benak penonton. Film jenis ini cocok bagi penonton yang sekedar mengikuti arus ataupun yang hanya mengincar hiburan semata, tetapi tidak dapat memenuhi kehausan penonton yang haus akan seni apalagi wawasan.
Padahal tanpa perlu menampilkan hantu apapun, film horor juga dapat memberi kesan horor. Misalnya, salah satu film produksi Thailand yang pernah saya tonton yang dari awal sampai akhir film, tidak ada makhluk halus yang muncul tetapi penonton pasti tahu bahwa di balik semua peristiwa aneh yang terjadi di dalam cerita, ada sesuatu yang gaib yang mengendalikan.
Ceritanya tentang sekelompok orang yang memiliki impian-impian besar dalam hidupnya tetapi selalu merasa khawatir tidak dapat meraih impiannya karena tidak yakin dengan bakat yang mereka miliki. Akibatnya mereka tergiur dengan kisah bahwa semua impian dapat terwujud jika seseorang menelepon sambungan telepon tertentu dan menyebutkan impian mereka itu tepat pada jam 12 malam. Mereka satu-persatu melakukannya tanpa tahu bahwa mereka hanya dapat menikmati impian mereka dalam sehari dan tepat pada jam 12 malam setelah mereka menikmati impian mereka yang telah menjadi nyata, mereka akan mati dengan berbagai cara yang mengenaskan.
Pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film ini pun jelas dan bagus, tanpa ada kesan menggurui, yaitu agar kita tidak serakah dan menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang kita impikan karena akan lebih baik jika kita meraih impian kita dengan kerja keras dan bukan lewat ‘jalan pintas’.
Saya rasa sineas Indonesia pun mampu untuk membuat film seperti ini. Tidak sekedar mendekor setting seram atau mendandani pemain layaknya hantu karena hal itu sudah terlalu bisaa dan jadinya malah kurang berkesan. Cerita yang menarik dan menegangkan tentu akan membuat penonton terkesan karena selain dapat merasa tegang, penonton juga dibuat penasaran dan mendapat amanat yang bagus melalui pesan moral yang ingin disampaikan oleh sineas film itu sendiri.
Jika sineas Indonesia hanya membuat film horor berdasarkan setting dan tampilan hantu yang mengerikan, pesan moral yang tersangkut dalam benak penonton bukan lagi takut akan Tuhan, tetapi takut pada setan, apalagi jika penontonnya adalah anak-anak kecil yang pada dasarnya tidak berjiwa pemberani.

Drama Percintaan yang Tak Ada Habisnya
Yang tak kalah fenomenalnya dengan film horor, tentu saja film drama romantis. Kisah-kisah percintaan memang selalu menarik untuk diangkat walau pada dasarnya hanya berputar pada masalah yang itu-itu saja. Jadi, kekuatan yang ditonjolkan dalam film bergenre ini bisaanya adalah para pemainnya, entah itu yang memiliki penampilan unik dan menarik, akting yang memadai, atau kolaborasi keduanya.
Sayangnya, penonton film Indonesia juga tidak terlalu banyak yang menuntut warna baru dalam kisah cinta anak muda dan para sineas pun kurang berinisiatif dalam memasukan unsur-unsur yang bernilai wawasan untuk membuat penonton mereka makin pintar. Justru film-film bergenre ini Cuma sekedar dijadikan hiburan semata. Padahal unsur wawasan atau nilai moral dapat dimasukkan tanpa perlu membebani penonton untuk berpikir.
Contohnya film Denias Senandung di Atas Awan yang mengusung masalah pendidikan anak-anak atau Nagabonar Jadi 2 yang salah satu hal yang diusungnya adalah apresiasi terhadap keluarga dan nilai-nilai luhur yang tak boleh dilupakan begitu saja demi keuntungan komersil. Unsur pengetahuan yang dimasukkan dalam film pun tak harus selalu mendominasi alur cerita secara keseluran, tapi bisa hanya sekedar selipan yang bagus. Misalnya dalam film Badai Pasti Berlalu dimana dikisahkan bahwa penderita diabetes tidak dapat menikah dengan sesama penderita dengan alasan kesehatan bagi calon bayi pasangan itu nantinya. Hal-hal semacam itu, dapat menjadi wawasan baru yang dapat membuka pikiran dan hati penonton.
Jika hal-hal seperti ini dimaksimalkan dalam proses produksi film drama romantis yang ringan, film juga dapat dijadikan inspirasi yang bagus bagi para penontonnya bagi pengembangan bakat dan kreativitas mereka.
Selama ini, kita justru banyak disuguhkan dengan film-film kurang bermutu tetapi akhirnya meledak di pasaran. Hal ini bisa terjadi karena beberapa kemungkinan. Salah satunya, karena kekontroversialannya. Hal ini terjadi karena hal yang diangkat dalam film tesebut adalah masalah-masalah yang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, seperti masalah keperawanan atau virginitas, gaya berpacaran yang agak intim, hubungan dengan sesama jenis, dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah karena para pemainnya yang menggugah selera penonton walau aktingnya tak seberapa bagus. Bahkan ada film drama romantis yang sudah ceritanya standar, acting para pemainnya buruk, bahkan setting-nya pun sering tidak logis. Jadi yang ditonjolkan sepanjang film berlangsung hanya penampilan para pemain yang selalu oke, setting tempat-tempat yang ‘wah’ dan barang-barang mewah dengan merek yang di-zoom dalam skala besar. Jadinya film tersebut malah tidak bisa dikatakan sepenuhnya bergenre drama romantis, tetapi bisa juga disebut film propaganda komersil.
Selain itu, film-film bergenre ini juga menuai kritik bahwa cerita yang disuguhkan sering kali tidak riil dan cenderung berlebihan. Hal ini bisa jadi disebabkan kurangnya ekplorasi dari sineas itu sendiri, baik penulis, sutradara, maupun para pemain film. Proses produksi film local sekarang mulai ikut-ikutan sinetron televisi, yaitu menggunakan sistem kejar tayang. Bedanya, sinetron-sinetron itu kejar tayang karena harus memasok sekian episode dalam kurun waktu singkat karena tayang 5 sampai 7 kali dalam seminggu, sementara film diproduksi secara kejar tayang agar biaya produksi tidak membengkak dan cepat dirilis, agar keuntungan dapat diperoleh dengan cepat untuk kemudian memproduksi film berikutnya.
Mungkin juga karena berbagai kritikan terhadap genre ini yang hanya mengangkat kisah yang itu-itu saja, para sineas mulai berpikir untuk menyajikan cerita yang agak berbeda. Sayangnya cara yang digunakan tidak sportif, yaitu dengan menjiplak cerita yang telah ada sebelumnya. Misalnya saja, film Tentang Cinta yang mengutip kisah dalam salah satu film produksi Korea atau film Medley yang mengutip salah satu film produksi Jepang.
Terkadang penjiplakan yang dilakukan oleh para sineas lokal tak melulu pada kisahnya, tetapi juga pada pola alur atau plot cerita. Bisaanya yang dipilih adalah pola alur yang belum pernah ada pada film-film produksi lokal sebelumnya. Misalnya saja film berjudul Love yang sedang dalam masa penggarapan. Referensi yang saya dapat secara sekilas melalui tayangan di televisi yang menggambarkan bahwa alur film ini dibuat seperti salah satu film drama Natal produksi Inggris dimana terdapat beberapa plot cinta romantis dalam satu film utuh. Plot-plot yang berbeda tersebut dimainkan oleh tokoh-tokoh yang memiliki hubungan antara tokoh di plot yang satu dengan tokoh di plot yang lain. Jadi, tetap ada benang merah yang menghubungkan masing-masing plot cerita.
Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat budaya dan seni Indonesia yang bercita rasa tinggi menunjukan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya memiliki bakat seni dan kreativitas yang luar biasa, jadi sudah seharusnya kita tidak menurunkan nilai seni dan kekreativitasan bangsa dengan cara menjiplak karya bangsa lain, apalagi jika yang selama ini dijiplak hanyalah kisah-kisah drama percintaan yang selalu dapat digali dari berbagai sisi yang berbeda dan tak pernah ada habisnya.

Kreativitas yang Terkungkung
Ketika para sineas dikritik tidak kreatif, mereka suka melontarkan alasan bahwa lembaga film seperti Lembaga Sensor Film Indonesia mengukung ide-ide kreatif mereka, sehingga pergerakan mereka menjadi sangat terbatas. Padahal jika melihat kinerja para pekerja iklan, kungkungan dari Lembaga Sensor Film sebenarnya tak seberapa. Lembaga ini hanya melarang munculnya hal-hal berbau seks, kekerasan, ataupun hal-hal yang menyinggung masalah SARA dan maksudnya tentu baik, agar tidak terjadi perpecahan yang berujung pada kerusuhan massa.
Para sineas masih dapat memproduksi film tanpa terlalu menonjolkan hal-hal yang kurang berkenan di hati lembaga sensor dan memasukan hal-hal yang lebih penting yang justru bisa menjadi pilihan dalam memberi warna baru dalam industri film lokal. Dan jika mereka menyadari bahwa hal-hal berbau seks dan kekerasanlah yang merupakan salah satu penyebab runtuhnya dinasti perfilman Indonesia pada era 1990-an, mereka tentunya tidak ingin hal yang sama terjadi lagi dalam era ini, dimana film Indonesia mulai bangkit kembali.
Tak ada salahnya jika para sineas kita mencontoh para pekerja iklan yang justru menganggap bahwa keterbatasan ruang gerak mereka justru menjadi tantangan bagi mereka untuk menampilkan pesan yang ingin disampaikan tanpa keluar dari ruang gerak yang disediakan bagi mereka.

Artistik yang Memburuk dan Apresiasi terhadap Film Indonesia
Masalah yang tak peliknya adalah artistik dari film itu sendiri, baik dari segi tampilan gambar maupun dari segi suara. Sebagian sineas Indonesia mulai beralih dari teknologi seluloid ke teknologi yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan pita yang biasa digunakan dalam proses produksi sinetron.
Alasannya sudah jelas, biaya produksi yang lebih murah dan proses pengambilan dan pengeditan gambar yang lebih efisien waktu dan tenaga. Alasan-alasan tersebut memang tidak dapat diabaikan. Sebagai produsen, para sineas tentunya berupaya menekan biaya produksi seminim mungkin walau selalu mengharapkan keuntungan semaksimal mungkin. Tetapi masalah yang ditimbulkan akibat peralihan teknologi yang digunakan ini tentu juga tak dapat diabaikan begitu saja, yaitu tampilan audio dan visual yang kurang memadai.
Teknologi semacam ini memang lebih efektif dan efisien dalam proses produksi film, tetapi kualitas yang disajikan mau tak mau berada jauh di bawah tampilan dengan teknologi pita seluloid. Memang jika target sineas hanya berkisar pada pasar lokal, tidak masalah jika teknologi yang digunakan adalah teknologi digital, tetapi tentunya jangan bermimpi film karya mereka dapat bersaing dalam festival yang bertaraf internasional.
Agaknya, sebagian sineas tak terlalu memusingkan masalah festival film. Bagi mereka, jika masuk nominasi apalagi memenangkan penghargaan, ya syukur. Tetapi jika tidak, juga tidak menjadi masalah selama film mereka laku-laku saja di pasaran. Jika motivasinya sudah beroritentasi pada pasar semata, apapun alasannya baik kualitas tampilan gambar maupun suara yang kurang berkualitas, selama hal itu tidak menyangkut soal kerugian komersil, tidak menjadi masalah bagi mereka.
Masalah artistik lainnya adalah pada kualitas akting para pemain film itu sendiri. Para kru (tidak semua, tetapi sebagian besar) cenderung memilih pemain berdasarkan pada penampilan semata, tanpa melihat kemampuan dengan alasan memberi kesempatan bagi wajah-wajah baru untuk belajar menjadi pekerja film. Itu memang bukan masalah jika, si pemain memang di-drive secara serius dan setealah melalui proses drive mereka dapat menunjukan kualitas yang baik di depan kamera. Sayangnya, yang banyak terjadi justru tidaklah demikian.
Yang lebih parah lagi, tak jarang pemain yang diluluskastingkan adalah kerabat dari pemimpin kru film tersebut, sehingga kesempatan bagi para calon pemain yang cukup berkualitas tapi tidak memiliki link menjadi menyempit. Kemampuan yang kurang memuaskan ini, tentu semakin menurunkan keartistikan film itu sendiri dan memperburuk kualitas dari film tersebut.
Meski dengan artistik yang begitu buruknya, adrenalin para sineas Indonesia tetap tinggi dalam berlomba-lomba memproduksi film, dan seiring dengan meningkatnya adrenalin para sineas dalam memproduksi film, ajang apresiasi bagi film dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya pun mulai semarak, seperti kembali hadirnya Festival Film Indonesia yang berpialakan Citra, serta munculnya ajang penghargaan film lain seperti MTV Movie Award dan Festival Film Terpuji. Ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia tidak serta-merta mengabaikan keberadaan film karya anak bangsa, tetapi justru memberi apresiasi yang cukup besar, baik kepada para pembuat film, para pemain yang bermunculan di dalamnya, maupun karya film itu sendiri. Sayang sekali jika apresiasi ini tidak dibarengi oleh semangat berkreativitas yang juga besar.

Kesimpulan
Karya anak bangsa, apapun itu, tentu tidak dapat diabaikan begitu saja. Tetapi jika karya tersebut memang tidak berkualitas, sulit bagi kita untuk memberi apresiasi bagi karya maupun sang pembuat karya tersebut, apalagi jika karya yang dihasilkan tidak orisinil, alias menjiplak (bukan mengadaptasi) karya lain. Ini tentu menjatuhkan nilai karya dan sang pembuat karya itu sendiri.
Begitu banyak hal yang masih harus dibenahi oleh para sineas maupun penonton film Indonesia. Semakin banyak tahu, seharusnya kita semakin banyak belajar dan makin selektif, baik dalam membuat karya maupun memilih karya yang baik untuk kita konsumsi. Sebagai sineas, sudah seharusnya mereka tidak membodoh-bodohi para penontonnya, dan sebagai penonton, kita jangan membiarkan diri kita dibodoh-bodohi.
Keadaan perfilman Indonesia yang masih terpuruk ini tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Tetapi pilihannya hanya ada dua dan keputusan untuk memilih ada di tangan para sineas dan penonton film kita sendiri, apakah dengan kondisi perfilman kita yang ibaratnya masih ‘berkubang dalam lumpur’ ini kita memilih untuk benar-benar bangkit atau justru tetap bertahan dengan keterpurukan yang ada demi kepentingan-kepentingan sebagian pihak dan tetap ‘bernafas dalam lumpur’. Pilih sendiri pilihan Anda.

Daftar Pustaka
Buku
Irawanto, Budi, dkk. 2004. Menguak peta Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Artikel dalam Diktat Kuliah Filmologi 2006
- Ragam Film (Genre)
- Sepuluh Tahun Terakhir Perfilman Indonesia

Artikel Online
http://imagejakarta.blog.co.uk/2007/11/06/jumlah_output_film_indonesia_2007_53_fil~3254039http://www.geocities.com/Paris/7229/film.htm

Contoh Proposal Penelitian kualitatif yang Sebaiknya Ga Ditiru!!

(Niy dy, tugas akhir bwt makul MPK Kualitatif yg aku bwt d semester 4. Emank asli, kacau bgt secara bikinnya Cuma semalem doank. Alhasil dpt nilai C deh. But, semester ini aku mo perbaikin biar dapat nilai yg lebih tinggi laghee plus bisa bikin proposal penelitian yg jauh lebih ok. Ntar aq postingin abiz uas semester berikutnya..)

JUDUL
ANALISIS WACANA TAYANGAN SERIAL KOREA DI STASIUN TELEVISI INDOSIAR PERIODE MEI 2005-MEI 2006 TENTANG MUATAN BUDAYA KOREA

LATAR BELAKANG
Stasiun televisi Indosiar memang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan stasiun televisi swasta di Indonesia lainnya. Sejak bertahun-tahun lamanya, Indosiar sudah memiliki penggemar tersendiri karena menayangkan berbagai anime (serial kartun Jepang), serial Jepang, dan serial kungfu Mandarin. Biasanya, serial-serial yang tayang di Indosiar ada masanya, terkadang Jepang, dua tahun berikutnya Mandarin, dan seterusnya. Serial-serial yang ditayangkan oleh stasiun televisi ini pun sering kali booming dan kerap menjadi buah bibir di berbagai kalangan, khususnya pelajar dan mahasiswa.
Sukses dengan serial Full House pada bulan Mei tahun 2005, Indosiar mulai bergeser menayangkan berbagai serial produksi Korea Selatan (Korsel). Sebenarnya beberapa tahun silam, Indosiar pernah sukses menayangkan serial Endless Love, Hotelier, dan Summer Scent yang juga produksi Korsel, yang sarat dengan air mata. Bahkan saking suksesnya, serial Endless Love diputar ulang di Indosiar dan RCTI, serta novelnya diterbitkan dalam terjemahan Indonesia.
Walaupun serial yang diputar selama ini cenderung seputar kehidupan remaja dan dewasa, tetapi serial-serial Korea yang ditayangkan Indosiar layak untuk dikonsumsi oleh anak-anak di bawah pengawasan orang dewasa. Pada awal tahun ini, Indosiar juga sempat menayangkan serial Korea yang tak hanya menghibur, tetapi juga menjadi sarana belajar, yaitu serial Jewel in The Palace. Serial ini menggugah beberapa pengajar sekolah dasar untuk menyisipkan kisahnya dalam proses belajar mengajar di sekolah karena dianggap dapat dijadikan teladan bagi para siswa.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana muatan budaya Korea ditampilkan dalam serial-serial Korea yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indosiar periode Mei 2005-Mei 2006?

TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat ditarik suatu tujuan dilakukannya penelitian ini, yaitu:
  • Untuk mengetahui bagaimana muatan budaya Korea ditampilkan dalam serial-serial Korea yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indosiar periode Mei 2005-Mei 2006.

MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini maka dapat diambil manfaat penelitian bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya, yaitu:

  • Bila tujuan penelitian ini tercapai maka kita akan tahu bagaimana serial Korea yang ditayangkan Indosiar periode Mei 2005-Mei 2006 memunculkan wacana tentang pengenalan budaya Korea kepada negara-negara tetangganya, dalam hal ini Indonesia. Secara disadari maupun tidak, khalayak selaku penonton serial ini dikenalkan dengan budaya Korea melalui kisah dalam serial-serial produksinya.

KERANGKA KONSEP
Budaya dan Media Massa
Indosiar merupakan salah satu media massa elektronik yang telah belasan tahun menemani penikmat televisi di Indonesia. Sebagai stasiun TV nasional yang berproduksi dan berlokasi di Indonesia, tepatnya di ibukota negara ini, Indosiar memegang teguh nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia. Apalagi, mayoritas karyawan stasiun televisi ini adalah warga Indonesia.
Ketika pihak Indosiar memutuskan untuk menayangkan berbagai program tayangan dari negara lain di luar Indonesia, dalam hal ini program tayangan serial Korea, berarti Indosiar turut serta mengenalkan dan menyosialisasikan budaya bangsa Korea kepada khalayak di Indonesia. Bertambah banyaknya jumlah penggemar serial Korea di Indonesia menunjukan bahwa khalayak dapat menerima budaya masyarakat Korea dengan baik, bahkan terkadang mengikuti tren busana maupun ucapan yang dimunculkan di dalam serial yang ditayangkan.
Kemudian, Indosiar juga berperan menghapus citra serial Korea yang katanya sarat dengan problematika, dilema, dan air mata. Serial Korea yang ditayangkan pada periode Mei 2005-Mei 2006 di Indosiar tidak hanya menonjolkan kesedihan dan kekecewaan semata, melainkan sudah mulai bergeser dengan intrik yang sederhana tapi unik dan diselingi dengan berbagai situasi lucu (humoris) yang menghibur.
Tak hanya itu, forum diskusi yang disediakan oleh stasiun TV ini juga membantu mempertemukan para penonton serial Korea, baik yang menggemari maupun yang anti. Penggemar serial Korea dapat saling bertukar info terbaru mengenai aktor-aktris Korea favorit mereka, serial-serial terbaru produksi Korsel, maupun cara memperoleh gambar, sinopsis, atau DVD serial favorit mereka. Para penggemar juga tak lupa memberikan kritik dan saran mengenai serial-serial yang ditayangkan oleh stasiun televisi ini. Biasanya respon para anggota forum sangat positif terhadap serial-serial Korea yang tayang di Indosiar sepanjang setahun terakhir karena sudah banyak jenis drama yang ditayangkan, sehingga khalayak tidak bosan dengan kisah drama yang itu-itu saja.

Budaya Korea
Banyak orang yang secara reflek membentuk jari-jarinya seperti huruf V ketika hendak difoto. Budaya seperti ini, sangat sering kita jumpai pada masyarakat Asia Timur, salah satunya Korsel. Ada lagi yang suka meneriakan kata ‘semangat’ dan ‘rajin’ setelah menonton tayangan Full House.
Seperti yang telah penulis sebutkan di atas, serial Jewel in The Palace tak hanya berisikan seputar kisah cinta semata, tetapi juga memasukan unsur sejarah di bidang kedokteran bangsa Korea. Bagi para siswa sekolah di Korea, serial ini jelas membantu mereka mengenal bagian dari sejarah bangsa mereka, tetapi serial ini juga dapat menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lainnya karena keteladanan yang ditunjukan dalam keseharian si tokoh utama, seperti pantang menyerah, selalu ingin tahu, dan mencari kesempatan dalam kesempitan. Serial ini banyak menunjukan bagaimana budaya bangsa Korea dalam berpikir, bersikap, bertutur, maupun berbusana di masa lampau. Bahkan serial ini juga dapat dijadikan sarana media untuk mengenalkan kembali penggunaan tanaman yang berguna bagi kesehatan maupun pengobatan.
Sementara, serial-serial Korea lainnya yang pernah ditayangkan Indosiar menunjukan bahwa masyarakat Korea modern banyak dipengaruhi oleh budaya Barat, terutama dari gaya hidup dan gaya berbusana. Para wanita umumnya berbusana minimalis dengan rangkaian warna tabrak lari, sementara para pria tetap menggunakan kaos maupun kemeja dengan berbagai potongan terbaru.
Serial Korea yang menampilkan adegan pernikahan, misalnya Full House dan 18 vs 29, memperlihatkan proses pemberkatan nikah. Hal ini terkait dengan bangsa Korea yang memiliki beberapa jenis aliran kepercayaan sudah banyak dipengaruhi ajaran Kristen, baik Protestan maupun Katolik.

KERANGKA PEMIKIRAN
Pendekatan Penelitian Program Acara Serial Korea di Indosiar
Pendekatan terhadap objek dari penelitian ini diperlukan untuk memperoleh teori penelitian yang tepat. Mengingat objek penelitian ini adalah serial-serial Korea yang ditayangkan oleh Indosiar pada periode Mei 2005-Mei 2006, maka dilakukan tiga pendekatan terhadap obyek penelitian ini, yaitu pendekatan ekonomi politik, pendekatan budaya, dan pendekatan sosial.
Pendekatan ekonomi politik mengandung makna suatu langkah pendekatan yang menitikberatkan pada bagaimana idealisme stasiun TV Indosiar ikut mempengaruhi program susunan acara yang ditayangkan, dalam hal ini serial produksi Korsel, serta seberapa besar campur tangan pemilik modal terhadap penayangan program tersebut. Keadaan ekonomi dan politik dalam tubuh Indosiar itu sendiri sangat menentukan kebijakan-kebijakan redaksional yang dibuat. Melihat fenomena konglomerasi media yang banyak terjadi saat ini, mungkin sekali bila kekuatan politik ekonomi menjadi dominan dalam menentukan bentuk, bahasa (terjemahan percakapan dalam bahasa Indonesia), serta adegan yang boleh ditampilkan maupun tidak.
Pendekatan budaya dalam penelitian ini berarti suatu langkah pendekatan terhadap kondisi budaya di Indonesia. Latar belakang budaya, agama, ras, dan suku yang berbeda-beda turut memberi pengaruh pada gaya bahasa maupun situasi (dalam serial) yang boleh ditampilkan di layar kaca. Indosiar yang memegang norma-norma budaya bangsa Indonesia menggunakan norma-norma tersebut untuk menyaring dan mempertimbangkan budaya seperti bangsa asing apa yang patut ditiru dan dihindari oleh bangsa Indonesia. Dengan kata lain, bagaimana bentuk penayangan serial-serial Korea tersebut akan sangat tergantung pada budaya bangsa Indonesia yang majemuk dan terbuka, tetapi tetap memegang teguh prinsip-prinsip (dalam hal ini, dasar negara dan peraturan perundang-undangan) yang telah disepakati bersama.
Pendekatan sosial merupakan sebuah langkah pendekatan terhadap program acara serial Korea melalui wilayah sosial. Yang dimaksud dengan wilayah sosial di sini adalah lingkungan penonton serial-serial Korea tersebut. Target audiens stasiun TV Indosiar, khususnya penikmat serial Korea, sangat menentukan arah tulisan wartawan-wartawan berbagai majalah dan tabloid, khususnya majalah dan tabloid wanita yang kerap menampilkan sinopsis dari serial yang akan maupun sedang ditayangkan, maupun penulis artikel-artikel di portal milik Indosiar karena wacana yang disajikan media cetak dan elektronik tersebut merupakan bagian dari wacana yang berkembang di masyarakat. Jadi, Indosiar melalui iklan dan portalnya dalam memberitakan dan mengarahkan penonton menuju wacana budaya Korea kepada audiens.

Kerangka Pemikiran
Wacana budaya Korea yang hendak diangkat oleh peneliti dalam penelitian ini menitikberatkan pada keseharian masyarakat Korea sebagai budaya bangsa Korea yang dicobakenalkan pada bangsanya sendiri maupun pada negara-negara tetangga melalui program acara serial produksi mereka.Bangsa Korea tak hanya ingin mengeruk pemasukan devisa saja melalui penjualan produk serial-serialnya, tetapi juga menjalin kerjasama di berbagai bidang sekaligus mengajak bangsa lain menjalin persahabatan dan mempererat perdamaian dengan bangsanya.
Misalnya saja, para produser serial Korea mulai mengirimkan jargon-jargonnya untuk beraksi di kancah yang lebih besar lagi, yaitu Asia secara keseluruhan. Para pekerja seni Korea mulai dikontrak oleh berbagai rumah produksi di Jepang, Hongkong (Cina), dan Taiwan. Selain untuk menarik simpati khalayak dengan memperlihatkan bahwa aktor-aktris mereka adalah pekerja seni profesional dan berbakat, mereka sekaligus juga menjalin kerja sama di bidang seni dengan negara tetangga, yang telah maju lebih dulu.
Selain itu, soudtrack-soundtrack serial Korea yang easy learning mendorong para penggemarnya untuk mencari lagu-lagu tersebut dalam bentuk mp3 beserta teksnya. Bahkan ada penggemar yang berusaha menerjemahkan isi lagu tersebut. Jadi, serial juga bisa sebagai sarana bagi bangsa Korea untuk memperkenalkan bahasanya kepada bangsa-bangsa lain, siapa tahu masyarakat di negara tetangganya tertarik untuk memperdalam bahasa sekaligus budaya Korea.

METODOLOGI PENELITIAN
Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian tentang adalah serial-serial Korea yang ditayangkan oleh Indosiar pada periode Mei 2005-Mei 2006.
Alasan mengapa memilih stasiun TV Indosiar sebagai objek penelitian ialah karena stasiun TV ini merupakan stasiun televisi nasional yang secara rutin menayangkan serial-serial produksi Korsel selama lima tahun terakhir. Bahkan sejak bulan Mei tahun 2005, Indosiar secara non-stop menayangkan serial-serial Korea pada sore hari selama lima hari dalam seminggu. Ini berarti Indosiar amat konsekuen dalam mengenalkan budaya Korea yang baru dilirik oleh masyarakat Indonesia pada lima tahun terakhir ini karena sebelumnya, masyarakat Indonesia umumnya hanya mengenal budaya Jepang dan China saja.

Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data-data tentang objek penelitian, peneliti menggunakan teknik dokumentasi serial-serial Korea yang ditayangkan Indosiar periode Mei 2005-mei 2006 dan artikel-artikel yang menyertai penayangan serial-serial tersebut yang terdapat dalam portal Indosiar.

Metode Analisis
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis wacana. Van Dijk melihat analisis wacana dalam 3 dimensi, yaitu (Eriyanto,2005: 226) :
1. Dimensi Teks;
2. Dimensi Kognisi Sosial; dan
3. Dimensi Analisis Sosial.
Analisis wacana adalah analisis tentang tulisan yang teratur, yang menurut urut-urutan yang semestinya atau logis. Karena itu wacana harus memiliki dua unsur penting, yaitu kesatuan (unity) dan kepaduan (coherence). Proses berpikir seseorang erat kaitannya dengan ad tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan yang disajikannya. Makin baik cara atau pola berpikir seseorang, pada umumnya makin terlihat jelas adanya kesatuan dan koherensi itu (Sobur, 2001:10). Wacana juga bisa diartikan sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pernyataan.

DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Ana Nadhya. 2005. Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Korea Overseas Information Service. 2003. Fakta tentang Korea. Seoul: Pelayanan Informasi Korea.
McQuail, Dennis. 1987. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar (terjemahan): Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Subarlam, dkk. 2005. Teori dan Praktek Analisis Wacana. Solo: 2005.

http://www.indosiar.com