‘Ambil.. ga.. ambil.. ga.. ambil.. Ah, ambil aja deh,’ gumamku dalam hati.
Akhirnya kuambil juga CD Soundtrack School of Rock yang sudah lama kuimpikan itu dari rak CD di dekatku. Hup! Segera kuluncurkan CD itu ke dalam tas yang sedang kukepit. Kurasa, aku akan aman-aman saja. Yang perlu kulakukan saat ini hanyalah berpura-pura melihat ke rak lain lalu segera melesat keluar dari toko ini.
Aku pun berhitung dalam hati sambil berusaha tetap tenang, maklum ini adalah aksi pertamaku. ‘Satu rak, dua rak, tiga rak.. Cukup. Saatnya pulang,’ gumamku sambil melangkah ke pintu toko.
“Maaf, tapi sebaiknya Anda bersedia bekerja sama dengan kami,” tiba-tiba seorang pramuniaga berwajah garang menghadangku.
“Tentu saja,” sahutku sok tenang, ”Ada yang bisa saya bantu?”
“ Tolong kembalikan CD yang tadi Anda ambil pada rak semula,” perintah si pramuniaga.
Ow, ow. “Maaf, saya tidak mengerti apa maksud Anda.”
“Anda pasti sangat mengerti apa maksud saya, Nona Sok Innocent. Jadi segera lakukan apa yang tadi saya minta.”
Aku pun kembali berhitung dalam hati, ’Satu, dua, tiga, lariii!’
Aku berusaha lari secepat kilat, tetapi entah mengapa adegan lari ini berjalan dengan begitu lambat, sementara si pramuniaga mengejarku dengan wajah-siap-bantai-nya.
‘Aduh, gimana niy kalau ketangkep. Bisa mampus deh gue. Dia makin deket lagi. Hwa!!’
Gubrak.
“Wadow!! Buset dah!! Sakit banget badan gue. Kok gue bisa-bisanya nabrak tu tong sampah siy? Bakal ketangkep deh gue,” gerutuku sambil celingukan mencari sosok si pramuniaga garang.
‘Lho, kok gue bisa ada di lantai kamar gue ndiri siy? Perasaan tadi gue lagi kejar-kejaran ma pramuniaga di jalan pasar,’ aku mulai mengingat-ingat, ‘Huuh, ternyata cuma mimpi, toh. Puji Tuhan. Gue janji seumur-umur, ga bakalan mau ngikutin instruksi geng gue buat ngleptoin barang. Makasih deh, cukup dalam mimpi aja. Peduli amat kalau ntar gue dikeluarin dari geng itu.’
“Rara!!” teriak mama dari lantai bawah.
“Iya, Ma,” sahutku dengan berteriak pula.
“Udah siang niy. Bangun dong, Ra.”
Aku menoleh ke arah jam dindingku. ‘Astaga, dah jam 7 kurang 10 menit! Gimana dong?!’
Aku segera menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi lalu menggosok gigi dan mencuci muka. Tanpa babibu, aku melesat kembali ke kamar dan berganti pakaian. Aku segera menyambar tasku, berlarian ke lantai bawah.
Mendengar langkahku yang berisik, mama yang sedang mengatur sarapan di meja makan malah berseru memujiku, “Duh, Anak mama. Tumben-tumbenan semangat bangun pagi. Biasanya kan..”
Aku segera mengecup pipi mama dan papaku yang sedang duduk membaca koran, “Dah, Ma.. Pa..” Siung!! Aku lari secepat kilat keluar rumah diiringi tatapan bingung kedua orang tuaku.
Begitu sampai di luar pagar, aku melihat bus yang seharusnya kunaiki melintas di depanku. Huuh, terpaksa deh aku harus menunggu bus berikutnya datang. Ketika akhirnya bus yang kutunggu-tunggu datang, aku segera naik walaupun bus itu penuh sesak.
Duk! Seseorang menabrakku dengan cukup keras. Aku meringis kesakitan sambil menatap orang itu dengan kesal.
“Kiri, kiri, Pak,” teriaknya pada kenek bus, tanpa sedikit pun menoleh ke arahku.
Di tengah jalan, aku turun untuk berganti bus. Untuk mendapatkan bus kedua, aku harus menyebrang jalan dulu. Karena sedang lampu merah, aku berjalan santai saja. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan dengan arah jalur yang seharusnya, sebuah motor melintas. Aku tak sempat menghindar dan akhirnya tertabrak. Akupun terjatuh seketika.
Pengemudi motor itu menghentikan motornya lalu bertanya apakah ia perlu mengantarkanku ke rumah sakit terdekat. Aku berkata bahwa itu tidak perlu karena aku tidak merasa sakit dan sedang terburu-buru. Ia pun meminta maaf lalu segera pergi.
Aku segera mendapat busku dan kali ini aku berhasil memperoleh tempat duduk, walaupun aku harus menahan napas karena bersebelahan dengan seorang pria yang sedang merokok. Tiba-tiba aku merasakan lututku sakit. Secara reflek, aku memegangi kedua lututku lalu meringis karena perih. Tiba-tiba, aku melihat tanganku berlumuran darah. Hah, ternyata aku tadi tidak menyadari lukaku karena tertutup oleh rok sekolahku. Sambil menahan sakit, aku tetap melanjutkan perjalanan ke sekolah.
Tiba di gerbang sekolah, aku segera turun dari bus dan menyebrang jalan dengan terbirit-birit. Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk menerima omelan dari satpam sekolahku. Malang bagiku, bukan omelan yang kudapat, melainkan tertawaan darinya.
“Ngapain, Neng, hari gini ke sekolah?” tanyanya sambil terkikik.
“Ya, mau sekolah lah, Pak,” sahutku dengan kesal.
“Neng, neng.. Sekarang kan hari Minggu. Memang ada kegiatan apa di sekolah. Kok saya ga dikasi tahu siy?”
“Ha, hari Minggu, Pak?”
“Lha, iya. Emang Neng piker, ini hari apa?”
“Mmm, mmm..”
“Kecil-kecil kok udah pikun,” ejeknya disertai kikikan.
“Ya udah deh,Pak. Kalo gitu, saya pulang dulu ya, Pak,” ujarku sambil menahan malu.
“Iya, besok jangan lupa sekolah ya, Neng. Jangan sampe telat.”
‘Huuh, sebel!! Kok gue bisa lupa siy kalo ini hari Minggu. Udah kakiku sakit lagi. Minta jemput papa aja deh. Mana ya, ponsel gue?’
Aku mengacak-acak isi tasku, tapi aku tak juga menemukan ponselku padahal seingatku sejak kemarin aku tak pernah mengeluarkan ponselku dari tas. Jangan-jangan..
‘Jangan-jangan, gue dicopet pas di bus tadi. Abis, busnya kan penuh banget, terus ada yang nyenggol lagi. Duh, apes banget siy, gue..’ gumamku dengan kesal.
Dengan terpaksa, aku kembali menaiki angkot untuk pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku berjalan gontai memasuki ruang makan untuk melanjutkan sesi sarapanku tadi. Belum sempat menyentuh makanan, aku mendengar kikan dari kedua orang tuaku.
“Wah, anak mama. Kok cepet banget siy pulang sekolahnya? Memang ada rapat guru?” ejek mamaku.
“Nggak ada rapat guru kok,” sahutku kesal.
“Hmm, berarti class meeting dong,” sekarang ganti papa yang mengejekku.
“Mama sama papa apaan siy?” rengekku.
“Sayang, gitu aja kok ngambek siy?” tanya mamaku.
“Kita kan cuma bercanda,” lanjut papaku.
“Bercanda, siy bercanda, tapi lihat sikon (situasi kondisi - nouphz) dong. Anak lagi sial begini juga,” rajukku sambil memperlihatkan luka di kedua lututku.
“Ya, ampun sayang! Kok bisa siy?” jerit mamaku.
“Tadi aku ketabrak gitu deh sama motor.”
“Kapan?”
“Pas nyebrang di pertigaan daerah Volvo.”
“Makanya kamu hati-hati dong, kalau lagi nyebrang,” omel mama sambil mengambil peralatan P3K-nya.
“Aku siy udah hati-hati, tapi motornya aja yang salah ngambil jalur.”
“Ya udah, sini mama obatin.”
“Mmm, Ma.”
“Apa?”
“Tapi jangan marah, ya?”
“Apaan siy, cerita aja belom, kenapa mesti marah?”
“Justru itu. Sebelum Rara cerita, Rara mesti yakin dulu kalau mama ga akan marah. Ya, Ma?” bujukku.
“Iya, iya. Mama ga akan marah. Emang kenapa siy?”
Aku berpaling kepada papaku. “Papa juga harus janji ga akan marah!”
“Heeeh, iya. Papa juga janji ga akan marah. Sebenarnya ada apa siy?”
“Sebenarnya.. Gini, Ma, Pa. Rara sebenernya udah hati-hati. Hati-hati banget, malah. Tapi..”
“Tapi apa?” tanya mama dan papaku hamper berbarengan.
“Tapi.. hp-nya ilang juga..”
“Hah!!” sekarang mama dan papa kompak berhisteria.
“Kok bisa siy?” omel mama.
“Tadi busnya rame banget siy, Ma. Jadi.. gitu deh.”
“Gitu deh, gitu deh. Kamu kira harga hp tuh murah apa?!”
“Udahlah, ma. Anak lagi sakit begitu juga, masak masih diomelin,” bujuk papa.
“Biarin aja, Pa. Abiz niy anak emang sembrono banget dari dulu. Biar dia tau rasa sekali-sekali,” repet mama.
“Ih, Mama, gitu banget siy sama anak sendiri,” rajukku.
“Hm, ya udah. Niy lukanya udah beres. Sekarang kamu ganti baju di atas sana.”
“Mau kemana, Ma? Mama mau ngajak Rara jalan ya?” tanyaku girang.
“Jalan gimana? Kamu masih lupa sekarang hari apa?” omel mama.
“Hari Minggu. Terus kenapa?” tanyaku polos.
“Biasanya hari Minggu kita kemana?”
“Ya, ke gerejalah,” jawabku sekenanya.
“Ya udah. Kok masih nanya?”
“Tapi ini kan udah siang, Ma? Kita kan biasanya ke gereja tuh pagi-pagi.”
“Maunya mama juga gitu. Tapi tadi pagi kan kamu malah ke sekolah, ya kan?”
“Iya, juga ya, Ma,” jawabku sambil cengar-cengir.
Aku segera melesat ke kamarku sebelum mama melanjutkan omelannya, sementara papa hanya tersenyum simpul sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku diomeli mama. Tapi rupanya bukan hanya aku yang kena omel.
“Papa kok masih nyante-nyante baca koran. Ganti baju sana!”
“I, iya, Ma..”
Akhirnya, kami sekeluarga pergi ke gereja. Rupanya tema ibadah hari ini adalah tentang rasa syukur. Dengan lantang, Pak Pendeta berkata, “Bersukacitalah senantiasa dalam segala hal! Bersyukurlah dalam segenap sukacitamu dan segenap dukacitamu karena dalam setiap hal yang terjadi dalam hidupmu, Tuhan bekerja untuk mendatangkan kebaikan buat kita. Tetapi bukan menurut waktu kita, melainkan menurut waktu Tuhan.”
Mendengar khotbah itu, aku cuma bisa bergumam, ‘Kayaknya gue lagi disindir niy ama pendetanya. Tau aja siy dia kalau hari ini gue lagi sial! Bersyukur pas lagi seneng siy enak. Gampang. Tapi kalau pas lagi sial begini kan..’