Sabtu, 09 Februari 2008

Film Indonesia: Bangkit dari Kubur atau Bernafas dalam Lumpur?

(Akhirnya, melalui paper ini, nilai filmo gue yang tadinya C naek dikit jadi B. Lumayan to?!)
Pendahuluan
Setelah lama tak terlihat sepak terjangnya, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kehadiran film keluarga berjudul Petualangan Sherina yang mengusung genre musikal anak dan dimainkan secara apik oleh duet Sherina Munaf dan Derbi Romeo.
Kejutan yang disuguhkan seakan tak berhenti sampai di situ saja karena dilanjutkan dengan peluncuran film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC?) yang dimainkan secara apik oleh Dian Sastro dan Nicolas Saputra. Walau alur cerita film ini mudah ditebak dan tidak ada hal spektakuler di dalamnya, tetapi film ini berhasil membuat kesan yang mendalam di dalam hati penontonnya. Tak hanya gedung bioskopnya yang penuh sesak saat masa penayangannya, tapi VCD filmnya pun laris manis di pasaran dan banyak dipinjam di tempat-temapat persewaan film. Bahkan beberapa kali film ini diputar di televisi selalu memperoleh rating penonton yang cukup bagus.
Tak cukup sampai di situ, film AADC? juga berdampak pada acara televisi nasional, terutama program-program sinetron dan film televisi. Sinetron dan film TV yang biasanya berkisah seputar kehidupan dewasa atau keluarga dengan serempak beralih ke cerita seputar kehidupan anak sekolah metropolitan.
Otomatis, film ini dianggap sebagai tonggak awal kebangkitan film nasional. Dan memang sejak kemunculan film ini, sineas-sineas di Indonesia mulai berlomba-lomba membuat film. Sineas yang lantas naik ke permukaan adalah sineas-sineas muda, sehingga film-film yang dihasilkan pun lebih diperuntukan bagi anak muda Indonesia.
Maka mulailah sineas-sineas membuat film bergenre drama romantis yang cukup laris di pasaran. Bahkan film berjudul Eiffel, I’m in Love tak hanya berhasil mengundang ribuan penonton, tapi juga membuat beberapa calon penontonnya pingsan karena riuhnya suasana saat mengantri beli tiket, yang menunjukan betapa tingginya antusias anak-anak muda Indonesia dalam menyambut film ini. Padahal alur film ini mudah ditebak, apalagi jika penonton sudah pernah membaca novel yang dijadikan acuan cerita yang tak kalah mudahnya juga ditebak. Belum lagi akting para pemainnya yang sangat standar, bahkan jauh dari bagus. Tetapi kehadiran film ini dapat turut menunjukan antusiasme masyarakat, terutama anak muda Indonesia, dalam menyambut kehadiran film-film nasional.
Film lain yang turut mengundang sensasi di awal kebangkitan film nasional adalah Jelangkung. Film bergenre horor ini juga berhasil meraih simpati masyarakat. Walaupun ending-nya cukup bisa tertebak, tapi film ini menawarkan warna baru dimana saat itu film yang muncul didominasi genre drama romantis.
Karena film ini sangat sukses di pasaran, sineas lain berupaya membuat film-film selanjutnya dalam genre horor. Pergerakan genre horor tak hanya di gedung bioskop semata, tapi juga merambat ke jaringan program televisi nasional. Sinetron dan film TV berlomba-lomba menampilkan kesan horor dalam tayangan mereka. Yang menurut saya lucu, beberapa (baca: banyak) sinetron drama anak muda yang bergenre drama yang awalnya penuh lika-liku percintaan, tiba-tiba memasukan unsur horor ke dalam cerita yang menjadikan alur ceritanya kacau-balau dan tidak nyambung lagi. Setelah beberapa episode memunculkan berbagai jenis hantu, barulah ceritanya kembali lagi ke alur drama romantis.
Jadi jika ada pertanyaan ‘benarkah perfilman Indonesia telah bangkit?’ maka muncul celetukan melecehkan dari sana-sini yang menyebut kebangkitan film Indonesia bukan bangkit dari mati surinya melainkan bangkit dari kuburnya.

Ruang Gerak Film Indonesia
Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya. Sayangnya, kekayaan seni dan budaya nasional justru amat jarang dimasukan sebagai unsur dalam film nasional, baik sebagai unsur penting maupun unsur pendukung. Padahal jika melihat dari sejarah perfilman di Indonesia, film awalnya dianggap sebagai kelanjutan dari pentas seni peran tradisional semacam wayang, ludruk, atau ketoprak. Yang membuat masyarakat antusias dengan film adalah setting film terlihat lebih nyata dan ada efek-efek khusus yang membuat film makin menarik untuk ditonton.
Saat ini film-film lokal kita banyak didominasi oleh budaya metropolis, baik gaya hidup, aksesoris berupa benda-benda mewah atau barang-barang berteknologi tinggi, bahasa-bahasa gaul yang makin amburadul, dan detil lainnya yang justru hanya mencerminkan sebagian kecil dari budaya yang ada di dalam masyarakat. Ini menjadikan film-film kita kurang riil dan memberi kesan agak berlebihan.
Yang pasti, dari berbagai hal yang sering diangkat dalam film lokal tersebut, tampak jelas bahwa film-film lokal kita mayoritas memang diperuntukan bagi kaum muda atau orang-orang yang masih berjiwa muda. Apalagi pemain-pemain yang digandeng kebanyakan juga aktor dan aktris muda, bahkan tak jarang masih sangat belia. Ceritanya pun berkisar kisah dan konflik yang khas anak muda.
Hal ini menunjukan kurangnya variasi dalam produksi film Indonesia dan ini tentu sangat disayangkan. Sineas boleh produktif, tetapi kurang kreatif dalam mengolah area yang ada. Misalnya memproduksi film drama keluarga seperti Petualangan Sherina atau Denias Senandung di Atas Awan, film laga, film teka-teki bak detektif, film kartun atau animasi, film fiksi ilmiah, atau film-film jenis lain yang masih jarang diproduksi di Indonesia, tetapi dapat menjadi lahan baru yang cukup menjanjikan.
Jika diamati, penonton film di Indonesia terbagi dalam 3 kelompok besar. Yang pertama adalah penonton yang menganggap film sebagai sebuah karya seni. Kelompok ini tentunya sangat selektif dalam memilih film yang akan mereka tonton dan tidak akan mau disuguhi film-film yang tidak bermutu. Kelompok berikutnya adalah penonton yang mengikuti arus. Penonton jenis ini bisaanya tidak terlalu selektif, mereka hanya menonton berdasarkan pamor film tersebut. Dan kelompok terakhir adalah penonton yang menganggap film tak lebih dari sekedar hiburan. Penonton jenis ini menerima film apapun juga, tanpa seleksi lebih lanjut.
Jadi, selalu ada area bagi para sineas yang ingin meluncurkan filmnya ke pasaran tanpa perlu merasa khawatir untuk mencoba genre film lain dengan alasan kurang komersil atau kurang ‘menjanjikan’. Apalagi ada banyak cara untuk menarik perhatian masyarakat untuk menonton film mereka.
Yang pasti, tema dan cerita film harus dibuat semenarik mungkin, dapat juga dengan menampilkan aktris atau aktor yang berpenampilan menarik dan memiliki kemampuan akting yang memadai. Dengan kemasan demikian, film dengan genre apapun akan terlihat bagus. Sementara kualitas cerita dapat ditambahkan dengan memberi pesan-pesan moral dalam berbagai isu-isu yang kerap kali dialami oleh masyarakat di Indonesia seperti masalah pendidikan, kesehatan, pemanasan global, toleransi umat beragama atau berlainan suku, dan sebagainya sebagai ganti dari dominasi konflik-konflik seputar percintaan anak muda.
Walau masih banyak kekurangan di sana-sini, masyarakat Indonesia boleh bangga dengan pencapaian angka produksi dan perilisan film lokal di tahun 2007 lalu yang sudah melewati angka lima puluh. Walaupun angka ini belum mencapai angka produksi film lokal di era sebelum 1990-an yang tiap tahunnya menghasilkan 70- 100 judul film, tetapi angka ini sudah menunjukan bahwa tak hanya masyarakat Indonesia yang antusias menyambut kehadiran film-film lokal, para sineas kita pun cukup antusias dalam memproduksi film.
Dari data perilisan film Indonesia pada tahun 2007 yang saya peroleh (saya paparkan dalam paper yang saya kulpulkan), tampak jelas bahwa ada 3 genre yang mendominasi film-film lokal, yaitu drama, komedi, dan horor. Ketiganya memang merupakan genre yang paling diminati masyarakat Indonesia.
Agaknya masyarakat Indonesia memang menyukai cerita yang sekedar menghibur dan tidak penuh dengan teka-teki yang harus memeras otak untuk memikirkan bagaimana kelanjutan cerita yang mereka tonton. Kata menghibur yang saya maksud di sini bukan hanya menimbulkan perasaan senang atau bahagia, tapi juga perasaan terharu, deg-degan, dan shock. Jadi rasa terhibur penonton tak hanya terekspresi melalui senyum dan gelak tawa, melainkan juga lewat derai air mata haru dan teriakan histeris.
Film komedi jumlahnya memang belum begitu banyak, baru sekitar 9 judul dari 51 total judul produksi. Film drama masih merajai genre film di Indonesia dengan total 22 judul film. Tetapi genre ini masih terbagi lagi, menjadi drama romantis yang tentu saja masih mendominasi genre ini, dan drama keluarga, seperti Anak-anak Borobudur atau Nagabonar Jadi 2.
Sementara film horor tak mau kalah dengan produksi 21 judul film, yang artinya sudah sedikit melampaui film drama romantis yang sebelumnya sempat merajai dominasi genre film lokal. Tetapi fenomena maraknya film horor menimbulkan polemik tersendiri, baik di kalangan para sineas, pengamat film, maupun masyarakat awam selaku peonton film ini.
Sebenarnya, kejayaan dinasti film horor dan drama di Indonesia saat ini tak lepas dari orientasi konsumsi film penonton Indonesia itu sendiri. Kehidupan masyarakat Indonesia sejak dulu memang dipengaruhi oleh hal-hal berbau gaib. Buktinya adalah kebudayaan kita yang sarat nilai-nilai animisme dan dinamisme. Sampai saat ini pun, masyarakat Indonesia masih memegang berbagai tradisi yang cenderung bersifat mitos dan legenda. Hal inilah yang kemungkinan besar mempengaruhi orientasi penonton kita yang menyukai drama-drama percintaan seperti yang ada dalam cerita legenda Indonesia dan film-film horror yang kerap identik dengan mitos-mitos yang sejak dahulu dibicarakan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.

Fenomena Film Horor
Seperti telah saya ungkapkan pada bagian pendahuluan, film horor menjadi fenomena penuh pro kontra. Pro kontra di kalangan para sineas terjadi karena tujuan dan visi yang berbeda dalam benak para sineas itu sendiri. Ada yang menganggap bahwa film horor juga merupakan film bernilai seni tinggi dan sangat menarik untuk diangkat di layar lebar. Sementara sineas lain hanya menganggap film horor sekedar proyek untuk memperoleh penonton sebanyak mungkin dan memperoleh keuntungan komersil yang tinggi karena saat ini masyarakat Indonesia masih menggemari hal-hal berbau gaib.
Para pengamat film sendiri ada yang berpendapat bahwa film horor lokal sudah pasti digolongkan sebagai film-film kacangan dengan mutu rendah, tetapi ada sebagian kecil yang mengatakan bahwa film horor memang membutuhkan kreativitas yang tinggi agar menimbulkan kesan yang mendalam dalam benak penonton, sehingga tidak sembarang sineas dapat berhasil memproduksi film bergenre ini.
Sementara penonton memiliki pendapat yang lain lagi. Bagi sebagian penonton, film horor menjadi film yang paling dihindari karena menimbulkan perasaan takut yang berkepanjangan setelah menontonnya. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh penampilan hantu-hantu yang bergentayangan pada setiap film horor produksi Indonesia, entah itu bernama-nama tradisional seperti tuyul, pocong, nyi blorong, nyi roro kidul, wewe gombel, kuntilanak, genderuwo, sundel bolong, jelangkung, dan sebagainya, atau hantu-hantu dengan nama yang lebih modern yang juga tak kalah bekennya, yaitu suster ngesot.
Sementara sebagian lainnya justru merasa terhibur dengan kehadiran fil-film bergenre ini, baik dengan alasan para pemainnya yang cantik dan ganteng maupun penampilan hantu-hantu yang menarik (baca: mengerikan). Sebagian penonton merasa bahwa film horor dapat memompa adrenalin mereka dan mereka merasa terhibur karenanya, tak peduli bahwa tak ada pesan moral atau pengetahuan apapun yang mereka peroleh dari menonton film-film tersebut.
Saya rasa pendapat yang kedua ini ada benarnya. Saya bukan penggemar film horor, bahkan bisa dibilang sangat menghindari hal-hal berbau gaib dalam kehidupan saya. Saya lebih suka menonton film bergenre thriller karena lebih menantang saya untuk berpikir apa dan siapa yang ada di balik setiap peristiwa yang terjadi daripada film horor yang sudah dapat ditebak ujung ceritanya.
Sebenarnya film horor memang dapat menjadi film fiksi bermutu tinggi, jika didukung oleh unsur-unsur bermutu di dalamnya. Sayangnya, saya jarang menemukan hal-hal bermutu dalam film horor produksi lokal. Jalan cerita dalam film horor lokal masih didominasi drama percintaan standar seperti cerita cinta segi sekian atau perselingkuhan dan akting pemain utama yang kurang memadai. Porsi tampilan para pemain cukup besar, tetapi sepanjang cerita bergulir mereka hanya ngobrol ngalor-ngidul sampai kemudian sang hantu yang ditunggu-tunggu muncul.
Film-film horor lokal memang hanya mengandalkan hantu-hantu seram untuk menakut-nakuti penonton, tetapi ceritanya sendiri tidak membekas dalam benak penonton. Film jenis ini cocok bagi penonton yang sekedar mengikuti arus ataupun yang hanya mengincar hiburan semata, tetapi tidak dapat memenuhi kehausan penonton yang haus akan seni apalagi wawasan.
Padahal tanpa perlu menampilkan hantu apapun, film horor juga dapat memberi kesan horor. Misalnya, salah satu film produksi Thailand yang pernah saya tonton yang dari awal sampai akhir film, tidak ada makhluk halus yang muncul tetapi penonton pasti tahu bahwa di balik semua peristiwa aneh yang terjadi di dalam cerita, ada sesuatu yang gaib yang mengendalikan.
Ceritanya tentang sekelompok orang yang memiliki impian-impian besar dalam hidupnya tetapi selalu merasa khawatir tidak dapat meraih impiannya karena tidak yakin dengan bakat yang mereka miliki. Akibatnya mereka tergiur dengan kisah bahwa semua impian dapat terwujud jika seseorang menelepon sambungan telepon tertentu dan menyebutkan impian mereka itu tepat pada jam 12 malam. Mereka satu-persatu melakukannya tanpa tahu bahwa mereka hanya dapat menikmati impian mereka dalam sehari dan tepat pada jam 12 malam setelah mereka menikmati impian mereka yang telah menjadi nyata, mereka akan mati dengan berbagai cara yang mengenaskan.
Pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film ini pun jelas dan bagus, tanpa ada kesan menggurui, yaitu agar kita tidak serakah dan menghalalkan segala cara untuk memperoleh apa yang kita impikan karena akan lebih baik jika kita meraih impian kita dengan kerja keras dan bukan lewat ‘jalan pintas’.
Saya rasa sineas Indonesia pun mampu untuk membuat film seperti ini. Tidak sekedar mendekor setting seram atau mendandani pemain layaknya hantu karena hal itu sudah terlalu bisaa dan jadinya malah kurang berkesan. Cerita yang menarik dan menegangkan tentu akan membuat penonton terkesan karena selain dapat merasa tegang, penonton juga dibuat penasaran dan mendapat amanat yang bagus melalui pesan moral yang ingin disampaikan oleh sineas film itu sendiri.
Jika sineas Indonesia hanya membuat film horor berdasarkan setting dan tampilan hantu yang mengerikan, pesan moral yang tersangkut dalam benak penonton bukan lagi takut akan Tuhan, tetapi takut pada setan, apalagi jika penontonnya adalah anak-anak kecil yang pada dasarnya tidak berjiwa pemberani.

Drama Percintaan yang Tak Ada Habisnya
Yang tak kalah fenomenalnya dengan film horor, tentu saja film drama romantis. Kisah-kisah percintaan memang selalu menarik untuk diangkat walau pada dasarnya hanya berputar pada masalah yang itu-itu saja. Jadi, kekuatan yang ditonjolkan dalam film bergenre ini bisaanya adalah para pemainnya, entah itu yang memiliki penampilan unik dan menarik, akting yang memadai, atau kolaborasi keduanya.
Sayangnya, penonton film Indonesia juga tidak terlalu banyak yang menuntut warna baru dalam kisah cinta anak muda dan para sineas pun kurang berinisiatif dalam memasukan unsur-unsur yang bernilai wawasan untuk membuat penonton mereka makin pintar. Justru film-film bergenre ini Cuma sekedar dijadikan hiburan semata. Padahal unsur wawasan atau nilai moral dapat dimasukkan tanpa perlu membebani penonton untuk berpikir.
Contohnya film Denias Senandung di Atas Awan yang mengusung masalah pendidikan anak-anak atau Nagabonar Jadi 2 yang salah satu hal yang diusungnya adalah apresiasi terhadap keluarga dan nilai-nilai luhur yang tak boleh dilupakan begitu saja demi keuntungan komersil. Unsur pengetahuan yang dimasukkan dalam film pun tak harus selalu mendominasi alur cerita secara keseluran, tapi bisa hanya sekedar selipan yang bagus. Misalnya dalam film Badai Pasti Berlalu dimana dikisahkan bahwa penderita diabetes tidak dapat menikah dengan sesama penderita dengan alasan kesehatan bagi calon bayi pasangan itu nantinya. Hal-hal semacam itu, dapat menjadi wawasan baru yang dapat membuka pikiran dan hati penonton.
Jika hal-hal seperti ini dimaksimalkan dalam proses produksi film drama romantis yang ringan, film juga dapat dijadikan inspirasi yang bagus bagi para penontonnya bagi pengembangan bakat dan kreativitas mereka.
Selama ini, kita justru banyak disuguhkan dengan film-film kurang bermutu tetapi akhirnya meledak di pasaran. Hal ini bisa terjadi karena beberapa kemungkinan. Salah satunya, karena kekontroversialannya. Hal ini terjadi karena hal yang diangkat dalam film tesebut adalah masalah-masalah yang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, seperti masalah keperawanan atau virginitas, gaya berpacaran yang agak intim, hubungan dengan sesama jenis, dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah karena para pemainnya yang menggugah selera penonton walau aktingnya tak seberapa bagus. Bahkan ada film drama romantis yang sudah ceritanya standar, acting para pemainnya buruk, bahkan setting-nya pun sering tidak logis. Jadi yang ditonjolkan sepanjang film berlangsung hanya penampilan para pemain yang selalu oke, setting tempat-tempat yang ‘wah’ dan barang-barang mewah dengan merek yang di-zoom dalam skala besar. Jadinya film tersebut malah tidak bisa dikatakan sepenuhnya bergenre drama romantis, tetapi bisa juga disebut film propaganda komersil.
Selain itu, film-film bergenre ini juga menuai kritik bahwa cerita yang disuguhkan sering kali tidak riil dan cenderung berlebihan. Hal ini bisa jadi disebabkan kurangnya ekplorasi dari sineas itu sendiri, baik penulis, sutradara, maupun para pemain film. Proses produksi film local sekarang mulai ikut-ikutan sinetron televisi, yaitu menggunakan sistem kejar tayang. Bedanya, sinetron-sinetron itu kejar tayang karena harus memasok sekian episode dalam kurun waktu singkat karena tayang 5 sampai 7 kali dalam seminggu, sementara film diproduksi secara kejar tayang agar biaya produksi tidak membengkak dan cepat dirilis, agar keuntungan dapat diperoleh dengan cepat untuk kemudian memproduksi film berikutnya.
Mungkin juga karena berbagai kritikan terhadap genre ini yang hanya mengangkat kisah yang itu-itu saja, para sineas mulai berpikir untuk menyajikan cerita yang agak berbeda. Sayangnya cara yang digunakan tidak sportif, yaitu dengan menjiplak cerita yang telah ada sebelumnya. Misalnya saja, film Tentang Cinta yang mengutip kisah dalam salah satu film produksi Korea atau film Medley yang mengutip salah satu film produksi Jepang.
Terkadang penjiplakan yang dilakukan oleh para sineas lokal tak melulu pada kisahnya, tetapi juga pada pola alur atau plot cerita. Bisaanya yang dipilih adalah pola alur yang belum pernah ada pada film-film produksi lokal sebelumnya. Misalnya saja film berjudul Love yang sedang dalam masa penggarapan. Referensi yang saya dapat secara sekilas melalui tayangan di televisi yang menggambarkan bahwa alur film ini dibuat seperti salah satu film drama Natal produksi Inggris dimana terdapat beberapa plot cinta romantis dalam satu film utuh. Plot-plot yang berbeda tersebut dimainkan oleh tokoh-tokoh yang memiliki hubungan antara tokoh di plot yang satu dengan tokoh di plot yang lain. Jadi, tetap ada benang merah yang menghubungkan masing-masing plot cerita.
Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat budaya dan seni Indonesia yang bercita rasa tinggi menunjukan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya memiliki bakat seni dan kreativitas yang luar biasa, jadi sudah seharusnya kita tidak menurunkan nilai seni dan kekreativitasan bangsa dengan cara menjiplak karya bangsa lain, apalagi jika yang selama ini dijiplak hanyalah kisah-kisah drama percintaan yang selalu dapat digali dari berbagai sisi yang berbeda dan tak pernah ada habisnya.

Kreativitas yang Terkungkung
Ketika para sineas dikritik tidak kreatif, mereka suka melontarkan alasan bahwa lembaga film seperti Lembaga Sensor Film Indonesia mengukung ide-ide kreatif mereka, sehingga pergerakan mereka menjadi sangat terbatas. Padahal jika melihat kinerja para pekerja iklan, kungkungan dari Lembaga Sensor Film sebenarnya tak seberapa. Lembaga ini hanya melarang munculnya hal-hal berbau seks, kekerasan, ataupun hal-hal yang menyinggung masalah SARA dan maksudnya tentu baik, agar tidak terjadi perpecahan yang berujung pada kerusuhan massa.
Para sineas masih dapat memproduksi film tanpa terlalu menonjolkan hal-hal yang kurang berkenan di hati lembaga sensor dan memasukan hal-hal yang lebih penting yang justru bisa menjadi pilihan dalam memberi warna baru dalam industri film lokal. Dan jika mereka menyadari bahwa hal-hal berbau seks dan kekerasanlah yang merupakan salah satu penyebab runtuhnya dinasti perfilman Indonesia pada era 1990-an, mereka tentunya tidak ingin hal yang sama terjadi lagi dalam era ini, dimana film Indonesia mulai bangkit kembali.
Tak ada salahnya jika para sineas kita mencontoh para pekerja iklan yang justru menganggap bahwa keterbatasan ruang gerak mereka justru menjadi tantangan bagi mereka untuk menampilkan pesan yang ingin disampaikan tanpa keluar dari ruang gerak yang disediakan bagi mereka.

Artistik yang Memburuk dan Apresiasi terhadap Film Indonesia
Masalah yang tak peliknya adalah artistik dari film itu sendiri, baik dari segi tampilan gambar maupun dari segi suara. Sebagian sineas Indonesia mulai beralih dari teknologi seluloid ke teknologi yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan pita yang biasa digunakan dalam proses produksi sinetron.
Alasannya sudah jelas, biaya produksi yang lebih murah dan proses pengambilan dan pengeditan gambar yang lebih efisien waktu dan tenaga. Alasan-alasan tersebut memang tidak dapat diabaikan. Sebagai produsen, para sineas tentunya berupaya menekan biaya produksi seminim mungkin walau selalu mengharapkan keuntungan semaksimal mungkin. Tetapi masalah yang ditimbulkan akibat peralihan teknologi yang digunakan ini tentu juga tak dapat diabaikan begitu saja, yaitu tampilan audio dan visual yang kurang memadai.
Teknologi semacam ini memang lebih efektif dan efisien dalam proses produksi film, tetapi kualitas yang disajikan mau tak mau berada jauh di bawah tampilan dengan teknologi pita seluloid. Memang jika target sineas hanya berkisar pada pasar lokal, tidak masalah jika teknologi yang digunakan adalah teknologi digital, tetapi tentunya jangan bermimpi film karya mereka dapat bersaing dalam festival yang bertaraf internasional.
Agaknya, sebagian sineas tak terlalu memusingkan masalah festival film. Bagi mereka, jika masuk nominasi apalagi memenangkan penghargaan, ya syukur. Tetapi jika tidak, juga tidak menjadi masalah selama film mereka laku-laku saja di pasaran. Jika motivasinya sudah beroritentasi pada pasar semata, apapun alasannya baik kualitas tampilan gambar maupun suara yang kurang berkualitas, selama hal itu tidak menyangkut soal kerugian komersil, tidak menjadi masalah bagi mereka.
Masalah artistik lainnya adalah pada kualitas akting para pemain film itu sendiri. Para kru (tidak semua, tetapi sebagian besar) cenderung memilih pemain berdasarkan pada penampilan semata, tanpa melihat kemampuan dengan alasan memberi kesempatan bagi wajah-wajah baru untuk belajar menjadi pekerja film. Itu memang bukan masalah jika, si pemain memang di-drive secara serius dan setealah melalui proses drive mereka dapat menunjukan kualitas yang baik di depan kamera. Sayangnya, yang banyak terjadi justru tidaklah demikian.
Yang lebih parah lagi, tak jarang pemain yang diluluskastingkan adalah kerabat dari pemimpin kru film tersebut, sehingga kesempatan bagi para calon pemain yang cukup berkualitas tapi tidak memiliki link menjadi menyempit. Kemampuan yang kurang memuaskan ini, tentu semakin menurunkan keartistikan film itu sendiri dan memperburuk kualitas dari film tersebut.
Meski dengan artistik yang begitu buruknya, adrenalin para sineas Indonesia tetap tinggi dalam berlomba-lomba memproduksi film, dan seiring dengan meningkatnya adrenalin para sineas dalam memproduksi film, ajang apresiasi bagi film dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya pun mulai semarak, seperti kembali hadirnya Festival Film Indonesia yang berpialakan Citra, serta munculnya ajang penghargaan film lain seperti MTV Movie Award dan Festival Film Terpuji. Ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia tidak serta-merta mengabaikan keberadaan film karya anak bangsa, tetapi justru memberi apresiasi yang cukup besar, baik kepada para pembuat film, para pemain yang bermunculan di dalamnya, maupun karya film itu sendiri. Sayang sekali jika apresiasi ini tidak dibarengi oleh semangat berkreativitas yang juga besar.

Kesimpulan
Karya anak bangsa, apapun itu, tentu tidak dapat diabaikan begitu saja. Tetapi jika karya tersebut memang tidak berkualitas, sulit bagi kita untuk memberi apresiasi bagi karya maupun sang pembuat karya tersebut, apalagi jika karya yang dihasilkan tidak orisinil, alias menjiplak (bukan mengadaptasi) karya lain. Ini tentu menjatuhkan nilai karya dan sang pembuat karya itu sendiri.
Begitu banyak hal yang masih harus dibenahi oleh para sineas maupun penonton film Indonesia. Semakin banyak tahu, seharusnya kita semakin banyak belajar dan makin selektif, baik dalam membuat karya maupun memilih karya yang baik untuk kita konsumsi. Sebagai sineas, sudah seharusnya mereka tidak membodoh-bodohi para penontonnya, dan sebagai penonton, kita jangan membiarkan diri kita dibodoh-bodohi.
Keadaan perfilman Indonesia yang masih terpuruk ini tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Tetapi pilihannya hanya ada dua dan keputusan untuk memilih ada di tangan para sineas dan penonton film kita sendiri, apakah dengan kondisi perfilman kita yang ibaratnya masih ‘berkubang dalam lumpur’ ini kita memilih untuk benar-benar bangkit atau justru tetap bertahan dengan keterpurukan yang ada demi kepentingan-kepentingan sebagian pihak dan tetap ‘bernafas dalam lumpur’. Pilih sendiri pilihan Anda.

Daftar Pustaka
Buku
Irawanto, Budi, dkk. 2004. Menguak peta Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Artikel dalam Diktat Kuliah Filmologi 2006
- Ragam Film (Genre)
- Sepuluh Tahun Terakhir Perfilman Indonesia

Artikel Online
http://imagejakarta.blog.co.uk/2007/11/06/jumlah_output_film_indonesia_2007_53_fil~3254039http://www.geocities.com/Paris/7229/film.htm

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Oke Non, thats nice article, must be written with good technic. Its all about idealism, it is not? Yes idealism in creation. We may choose what genre of movie will we make but tha character just determined by our style, our own taste. Riri Riza and Mira have proved it with Laskar Pelangi. True idealism has bring the new wave of Indonesian movie.