Sabtu, 09 Februari 2008

Lumpur Lapindo & Warga Sidoarjo

(Yang ini bagian dari tugas kelompok buat mid semesternya sosiologi industri. Berhubung dosennya amat sangat murah hati sekali, asal tugas lengkap, nilainya pasti sempurna!!)

LATAR BELAKANG
Dewasa ini, Indonesia sering sekali mengalami bencana alam. Dimulai dari peristiwa tsunami di Aceh, Peristiwa gempa di Yogyakarta, dan bencana-bencana alam lain yang menyusul belakangan. Hampir semua bencana ini diakibatkan oleh peristiwa alam yang secara alami terjadi.
Kemudian muncul satu bencana baru yang hingga saat ini masih meresahkan warga. Bencana kali ini adalah peristiwa bocornya lumpur di daerah Sidoarjo. Namun, bencana ini tidak secara alami terjadi. Ada faktor pendorong yang mempengaruhinya, yaitu kebocoran gas oleh PT.Lapindo. Yang sangat membahayakan di sini adalah bocornya lumpur tersebut disertai dengan bocornya gas-gas berbahaya dari proses produksi PT. Lapindo.
Untuk itulah pemerintah dan pihak Lapindo sebagai sumber masalah mengadakan beberapa bantuan untuk warga sekitar yang mendapat dampak buruk dari peristiwa tersebut. Berikut pembahasan mengenai peristiwa ini dan proses penanggulangan yang sampai saat ini sedang diupayakan oleh pemerintah daerah maupun PT Lapindo, selaku pihak yang diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya masalah ini.

PEMBAHASAN
Kebocoran gas bercampur lumpur seakan tak mau berhenti. Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga. Semula, lumpur memasuki permukiman penduduk dan merusak paling sedikit enam rumah. Sejumlah warga mengeluh sesak napas akibat mencium bau gas yang menyengat mirip amoniak. Lalu mereka dirawat tim medis dari Dinas Kesehatan Sidoarjo. Untuk menghindari kejadian yang lebih fatal, beberapa warga diungsikan ke tempat yang lebih aman. Beberapa tenda pengungsian juga sudah disiapkan untuk menampung ratusan warga.
Memang, semburan gas bercampur lumpur mulai berhenti pada tanggal 3 Juni 2006. Warga yang sebelumnya mengungsi juga sudah mulai kembali ke rumahnya. Lagipula Pejabat Dinas Kesehatan telah menyatakan bahwa gas yang dikeluarkan hanya mengandung hydrogen sulfide (H2S) yang tak berisiko tinggi terhadap kesehatan warga.
Pihak Lapindo sempat berhasil membendung dan mengeruk lumpur yang sempat meresahkan warga itu. Selain itu, PT Lapindo bersama pemerintah desa mendirikan dapur umum. Setiap harinya dapur umum yang dikerjakan warga dan didanai pihak Lapindo ini mampu memenuhi kebutuhan makan sebanyak 1.800 penduduk.
Dua hari kemudian, semburan gas bercampur lumpur kembali meluas. Luberannya mulai merambah Tol Surabaya-Gempol kilometer 38. Akibatnya arus lalu lintas terganggu. Lumpur menyembur dari beberapa titik di sekitar eksplorasi titik utama PT Lapindo yang tak jauh dari tol. Upaya penyumbatan dengan menyuntikkan gel tak banyak menolong. Lumpur malah muncrat melalui lubang baru. Petugas PT Lapindo berusaha menahan lumpur dengan membangun tanggul dari kantung pasir.
Kasus ini rupanya menyita perhatian aktivis peduli lingkungan di Sidoarjo. Dalam unjuk rasa peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mereka mendesak pemerintah untuk menyelidiki kasus kebocoran di PT Lapindo. Jika terbukti bersalah, pemerintah harus segera menghentikan aktivitas eksplorasi PT Lapindo.
Setelah sepekan lebih, lumpur masih menyembur. Selain merusak lebih banyak rumah warga, jalan yang menghubungkan Desa Reno Kenongo dan Siring lumpuh tak bisa dilewati kendaraan. Sekitar 216 kepala keluarga warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, akhirnya dievakuasi ke Pasar Baru Porong menyusul makin tak terkendalinya semburan lumpur dari aktivitas penambangan gas milik PT Lapindo Brantas.
Desa Jatirejo merupakan salah satu dari tiga desa yang menjadi korban semburan lumpur panas. Dua desa lainnya ialah Siring dan Reno Kenongo. Warga yang dievakuasi sebagian besar terdiri dari anak-anak, perempuan dan berusia lanjut. Mereka menempati kios-kios pasar yang sementara ini belum dipakai.
Evakuasi dilakukan karena luapan lumpur mulai meluas dan memasuki pekarangan warga. Warga yang ingin mengungsi dihimbau agar menuju lokasi penampungan di Pasar Baru Porong. Sementara jumlah warga yang menderita sakit akibat menghirup gas PT Lapindo Brantas juga makin meningkat. Jumlah pasien yang masuk 509 orang terdiri atas para orang tua dan anak-anak. Dari jumlah pasien yang berobat, 36 di antaranya menjalani rawat inap. Pasien umumnya mengalami diare dan sesak napas akibat menghirup gas dari PT Lapindo.
Sementara itu, sedikitnya sembilan pabrik rokok kecil di Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin dan Kelurahan Siring serta Kelurahan Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Rabu menuntut relokasi ke PT Lapindo Brantas. Tuntutan relokasi itu disampaikan sebagai kompensasi agar mereka bisa pindah ke lokasi yang layak dan aman dari gangguan luapan lumpur panas.
Kesembilan pabrik rokok itu mengaku sejak empat bulan belakangan ini, pabrik mereka yang berdiri di sekitar tanggul lumpur mengalami kerugian drastis. Bahkan, bayak diantara perusahaan rokok ini, tidak lagi mampu berproduksi, karena belum ditemukan lokasi pengganti. Manager Pabrik Rokok Gunung Gangsir Kretek, Arif Darmawan, mengemukakan akibat lokasi usaha miliknya terkena genangan lumpur selama empat bulan belakangan ini, produksi rokoknya menjadi macet total. Setiap bulannya, PT Graha Niaga yang memproduksi rokok Gunung Gangsir di Kelurahan Siring mengalami kerugian mencapai Rp200 juta lebih.
Para karyawan mulai tidak nyaman melakukan pekerjaan. Perasaan was-was selalu saja muncul di kalangan karyawan karena luberan lumpur terus mengancam dan mematikan usaha mereka. Bila kondisi produksi dari sembilan pabrik rokok itu seperti itu terus, tidak menutup kemungkinan pabrik rokok tersebut bangkrut. Padahal sekitar 450 karyawan atau buruh yang selama ini menggantungkan hidup di usaha rokok ini bakal terkena imbasnya.
Sementara itu, pendapat sejumlah pihak mengenai lumpur Sidoarjo yang mengandung limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) sempat dikira keliru. Uji laboratorium yang dilakukan di tiga laboratorium tak lama setelah kejadian semburan lumpur terjadi. Uji ini dilakukan di laboratorium Bogorlab, Sucofindo, dan Corelab menyatakan lumpur panas yang keluar dari perut bumi di Sidoarjo, Jatim, tidak mengandung limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
Melalui beberapa tahap pengujian yang dilakukan oleh pakar ecotoxicologist, ternyata semua parameter bahan kimia yang terkandung dalam lumpur tersebut berada di bawah baku mutu yang berlaku. Bahkan lebih dari 85 persen parameter bahan kimia yang diukur berada di bawah batas deteksi alat. Itu berarti, kadar bahan kimia dalam lumpur Lapindo sangat rendah.
Sebelumnya juga ada kekhawatiran jika lumpur masuk ke perairan laut maka lumpur akan melayang-layang di dalam air dan dapat membunuh serta mengganggu kehidupan biota air. Hal ini dikarenakan lumpur Lapindo bersifat koloid dan suspensi sehingga sulit dipisahkan dari air. Ternyata hal ini tidak perlu dikhawatirkan lagi karena hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik.
Kemudian, untuk mengetahui apakah lumpur tersebut berbahaya atau tidak terhadap kehidupan di darat, dilakukan pengujian LD50 yang umumnya dilakukan terhadap tikus (mus musculus). Hasil pengujian LD50 yang dilakukan di Bogorlab menunjukkan, nilai LD50 lumpur tersebut adalah 31.250 Mg/Kg berat badan. Dalam Peraturan Pemerintah No.74/2001 tentang Pengelolaan B3 disebutkan bahwa lumpur dikatakan relatif tidak berbahaya bila mempunyai nilai LD50 sama atau lebih besar dari 15.000 Mg/Kg berat badan. Artinya, hasil pengujian membuktikan bahwa lumpur Sidoarjo bukan termasuk sebagai limbah B3. Jadi, lumpur tersebut aman dan dapat dibuang ke perairan.
Tetapi rupanya hal ini salah besar. Buktinya, selain lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu. Terdapat indikasi bahwa lumpur panas di Sidoarjo bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lumpur diduga mengandung bahan karsinogenik yang, bila menumpuk di tubuh, bisa menyebabkan penyakit serius seperti kanker. Selain itu, jika masuk ke tubuh anak secara berlebihan, bisa mengurangi kecerdasan. Berdasarkan analisis sampel air di tiga lokasi berbeda, dari 10 kandungan fisika dan kimia yang dijadikan parameter, 9 di antaranya telah jauh melampaui baku mutu limbah cair sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg. Padahal, baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg.
Selain panas, dari uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur yang diambil 5 Juni dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur terdapat fenol. Fenol berbahaya untuk kesehatan. Kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal. Efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol, kata Mukono, bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Sementara itu, setelah lebih dari satu bulan sejak terjadinya kebocoran gas, sepertinya belum tampak tanda-tanda siapa yang harus bertanggung jawab. Seperti kita ketahui, hak konsesi eksplorasi pada Blok Brantas PT. Lapindo Brantas diberikan oleh Pemerintah Pusat sementara ijin konsesinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang pada perkembangannya Pemerintah Daerah Sidoarjo malah memberikan keleluasaan kepada PT. Lapindo Brantas untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang Kabupaten Sidoarjo tidak kompatibel terhadap rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut.
Dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup, tragedi lumpur panas PT. Lapindo Brantas dinyatakan sebagai kejahatan korporasi, dengan unsur-unsur yang telah ditetapkan dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran.
Pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut.
Lantas, sebagai rasa tanggung jawab, PT Lapindo Brantas Inc. siap membeli lahan terendam lumpur panas, seperti tuntutan sebagian warga Desa Penjarakan, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, asalkan harga yang ditawarkan wajar dan sesuai dengan kondisi pasar. Sejumlah perwakilan warga dari Desa Pejarakan, Kec Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, meminta PT Lapindo Brantas Inc. membeli sawah yang terkena luberan lumpur panas. Sebanyak 60 orang pemilik sawah seluasi 18,3 hektare itu meminta dibeli dengan harga sesuai kesepakatan, dan sawah yang gagal panen juga diberi ganti rugi PT Lapindo Brantas Inc.
Untuk sawah yang gagal panen, akan diberi ganti rugi dengan perhitungan satu hektare sawah menghasilkan empat ton gabah senilai satu tonnya Rp1,8 juta, dan dalam setahun dihitung tiga kali panen. Sedangkan harga lahan sawah, mengacu pada harga yang sudah diberikan kepada desa lainnya, seperti Desa Mindi, yakni Rp300.000 per meter persegi.
Tim Pelaksana Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, pada tanggal 4 Oktober 2006 mulai melakukan sosialisasi konsep relokasi bagi warga di desa Siring, Jatirejo, Renokenongo (Kecamatan Porong) dan Kedungbendo (Kecamatan Tanggulangin) di Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. Adapun tujuan sosialisasi konsep ini adalah untuk menjelaskan upaya penanggulangan bencana luapan lumpur menjelang musim hujan dan lebaran. Selain itu, juga menawarkan tiga opsi konsep relokasi kepada warga empat desa itu.
Timnas menawarkan tiga opsi relokasi, yakni cash and carry, resettlement (bedol desa), dan kawasan siap bangun (KSB). Terserah masyarakat mau memilih yang mana. Semua masukan dan saran dari masyarakat akan ditampung Timnas. Sosialisasi ini juga diharapkan berguna untuk meyakinkan warga keempat desa yang wilayahnya tidak layak huni itu benar-benar memahami bahwa sangat berbahaya jika tetap mempertahankan tinggal di rumahnya dan menolak direlokasi. Warga juga harus paham bahwa tanah di desanya mengalami penurunan permukaan (ambles) dan tidak layak huni lagi.
Sebenarnya Timnas berharap agar warga memilih opsi resettlement atau bedol desa. Ini dikarenakan pada lokasi baru akan dilengkapi beberapa fasilitas, seperti gedung sekolah SD, SMP, SMA, gedung serba guna, pasar lokal, tempat beribadah, lahan/sawah garapan dan sebagainya.
Jika warga memilih opsi cash and carry dan KSB, mungkin mereka ingin mencari lokasi rumah baru setelah mendapatkan uang ganti rugi. Kelebihannya, warga bisa menyesuaikan lokasi rumahnya agar dekat dengan kantor tempat kerjanya. Jika memilih KSB, warga diberikan kewenangan membangun model rumahnya sesuai selera masing-masing di lokasi yang disediakan Lapindo Brantas Inc (LBI).
Memasuki bulan kekempat, semburan lumpur panas makin menguat. Volume semburan dari Sumur Banjar Panji I milik PT Lapindo Brantas justru makin meningkat. Menurut data Lapindo, volume semburan kini mencapai 126 ribu meter kubik tiap harinya. Bahkan, tiap hari semburan lumpur makin tinggi. Asap putih yang menyertai semburan lumpur juga makin pekat.
PT Lapindo Brantas telah melakukan sejumlah langkah menutup semburan lumpur panas. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda semburan berhasil ditutup. Untuk mengantisipasi agar tanggul utama tidak jebol, Lapindo Brantas terus menguatkan tanggul di sekitar pusat semburan. Puluhan truk dikerahkan untuk mengangkut pasir untuk penguatan tanggul utama tersebut.
Sementara itu, delapan unit mesin penyedot air lumpur yang ditempatkan di Desa Pejarakan, Kecamatan Jabonb, pada tanggal 9 Oktober 2006 akhirnya sepenuhnya bisa berfungsi. Mesin-mesin ini akan mengalirkan air lumpur ke Sungai Porong. Sebelumnya, pengoperasian mesin menghadapi kendala, seperti tak adanya air pendorong dan terlambatnya pasokan bahan bakar penggerak mesin. Kedelapan mesin ini memiliki kapasitas menyedot air lumpur sebesar 250 liter per detik.
Namun, mesin penyedot lumpur yang dipasang sejak pekan lalu di kolam penampung di Desa Kedung Cangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, masih terkendala. Jarak pipa dari kolam penampung yang terlalu jauh dari mesin, yakni sekitar 10 meter, menjadi kendala utama. Karena itu, Senin ini, mesin tersebut digeser mendekati bibir kolam penampung agar bisa menyedot lumpur. Sementara pipa-pipa sepanjang 1,5 kilometer yang sebelumnya tersumbat, kini sudah siap dilalui air dan lumpur.
Sementara itu, sebagai upaya membuka jalan tol Porong-Gempol, Dinas Jasa Marga, Senin ini, memasang ratusan rambu lalu lintas. Ratusan rambu itu akan dipasang di sepanjang jalan tol ruas Porong-Gempol, terutama di kilometer 36 hingga kilometer 40.
Sebagian besar rambu berisi imbauan pada para pengguna jalan tol untuk lebih berhati-hati menggunakan jalan tol. Rambu ini sekaligus sebagai peringatan bahwa jalan tol ruas Porong-Gempol belum layak karena banyak badan jalan yang bergelombang. Dinas Jasa Marga berencana akan kembali membuka ruas tol Porong-Gempol esok, tanggal 11 Oktober 2006. Sementara tanggul di sisi jalan tol terus diperkuat untuk mengantisipasi jebolnya tanggul seperti beberapa waktu lalu.

PENUTUP
Pemerintah Indonesia agaknya belum bisa bernafas lega berhubung berbagai bencana datang silih berganti. Memang, proses penanganan dalam kasus Lumpur Lapindo tergolong lama. Sementara tindakan penanganan cenderung berbelit-belit. Hal ini tentu saja meresahkan masyarakat Sidoarjo yang menjadi korban dalam peristiwa ini. Walau bencana ini tidak menimbulkan korban jiwa, tetapi penyakit yang ditimbulkan dapat mematikan. Jadi, sudah sepantasnya dan seharusnya masyarakat yang menjadi korban memperoleh ganti rugi yang selayaknya.
Menurut kami, PT Lapindo cenderung penuh perhitungan dalam memberikan biaya ganti rugi pada masyarakat. Mereka menggunakan seribu satu macam alasan untuk memperketat pengeluaran terhadap para korban. Mungkin karena mereka belum pernah merasakan penderitaan yang dialami oleh para korban. Yang menjadi korban pun tak hanya masyarakat sekitar, tetapi juga beberapa prabrik yang disinyalir akan segera bangkrut bila tak ada penanganan khusus bagi mereka. Apalgi pekerjanya, warga di situ juga yang menggantungkan hidup sehari-hari dengan bekerja sebagai buruh dan karyawan di pabrik-pabrik tersebut.
Oleh karena itu, hendaknya pemerintah tak hanya memberi hukuman pada perusahaan tersebut (PT Lapindo) tetapi juga membantu rakyat agar tidak lantas dirugikan oleh biaya ganti rugi yang ditawarkan perusahaan tersebut. Agaknya pemerintah harus lebih tegas lagi terhadap perundang-undangan yang berlaku dan pihak Lapindo hendaknya lebih menumbuhkan jiwa sosialnya dalam menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Sudah untung tidak ada masyarakat yang mengajukan masalah ini ke jalur hukum.

Tidak ada komentar: