Sabtu, 09 Februari 2008

Sineas Kambing Hitamkan Lembaga Sensor Film Indonesia

(Tugas mid filmologi ini gue buat ga dengan spenuh hati, tapi lumayan kerja keras juga, secara ngerjain hanya sekian jam dari jam deadline..)

Beberapa tahun belakangan ini, perfilman Indonesia mulai ramai kembali oleh kehadiran film-film baru yang mengusung sineas-sineas baru sebagai orang layar baru, baik di belakang maupun di depan. Film Indonesia pun mulai berkembang ke arah yang lebih baik. Walaupun genre yang ditawarkan oleh para sineas muda ini kebanyakan bertema cinta dan hantu, tetapi rupanya masyarakat Indonesia selaku audiens cukup meminati sajian tersebut.
Perkembangan film Indonesia jelas tak dapat dipisahkan dari keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF). LSF merupakan lembaga sensor film Indonesia yang bentuk berdasarkan amanat UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman (UU No. 8/1992). Setiap film yang ingin ditayangkan di televisi maupun bioskop harus diseleksi dahulu oleh lembaga ini. Dengan kata lain, kita tidak dapat menonton film, baik di televisi maupun di bioskop sebelum LSF melulussensorkan film tersebut.
Adapun tugas yang diemban oleh LSF menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film adalah: melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum; meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, ditayangkan; dan menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan. Dalam melaksanakan tugasnya, LSF memiliki wewenang penuh.
Oleh karena tugas dan wewenang yang diembannya, keberadaan LSF bagaikan dua sisi logam mata uang. Berbagai pro dan kontra mengiringi langkah lembaga ini sejak awal berdirinya sampai saat ini. Dilihat dari tujuannya, misi LSF memang mulia, yakni agar moral para generasi muda tidak runtuh oleh serangan arus akulturasi nilai-nilai negatif yang makin berkembang di zaman modern ini. Pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat khawatir bila tampilan bernilai negatif dapat membuat audiens ikut-ikutan melakukannya.
Lain halnya dengan para sineas muda Indonesia. Mereka justru menganggap LSF mengekang kreativitas seni mereka. Menurut mereka, apa yang mereka produksi dengan mati-matian dan dengan sepenuh hati tersebut sangat tak layak jika mengalami pemotongan di sana-sini. Hal ini dianggap sebagai peniadaan karakter film itu sendiri. Selain itu, pemotongan bagian-bagian tertentu oleh LSF mengakibatkan pesan yang ingin mereka sampaikan menjadi kurang ‘mengena’ di hati para audiens.
Para sineas memang menggunakan film sebagai media komunikasi, seperti halnya penulis buku atau lagu menggunakan buku dan lagu sebagai media komunikasi mereka. Memang kelihatannya mungkin kurang adil jika film harus melewati tahap sensor yang begitu ketat dan tak jarang penuh kontroversi, sementara buku dan lagu begitu mudahnya diluncurkan di hadapan audiens setiap harinya. Tapi perlu digarisbawahi di sini bahwa buku hanya media visual dan lagu juga media audio yang pembaca dan pendengarnya perlu waktu untuk membayangkan sendiri ilustrasi dari isi buku dan lagu tersebut. Sementara film berbentuk audiovisual yang penontonnya mendapatkan gambaran ilustrasi yang jelas dan terasa nyata dalam pikiran audiens. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidaksadaran dalam diri audiens untuk menanamkan nilai-nilai negatif (yang terdapat dalam film) dalam dirinya, menganggapnya sebagai hal-hal biasa yang memang mendukung perkembangan zaman modern, bahkan bisa pula menjadikannya pedoman hidup, dan ujung-ujungnya malah ikutan melakukannya.
Contohnya adalah kasus-kasus pemerkosaan yang diakui pelaku sebagai pelampiasan mereka setelah menonton film porno. Sementara buku atau lagu yang ‘agak menjurus’ sejauh ini belum memperoleh kasus yang sama. Ini tentu harus menjadi refleksi para sineas muda tentang betapa dasyatnya pengaruh film dalam kehidupan audiens mereka. Jadi, mereka sebaiknya tidak bersikap egois dengan menuntut agar LSF diubah menjadi Lembaga Klasifikasi film (LKF), yang tidak bertugas memotong-motong adegan film-film mereka.
Jika LSF berubah menjadi LKF, sebenarnya tugas yang diembannya menjadi lebih ringan. LSF hanya perlu mengklasifikasi film dan menyensor secara umum, artinya film yang tidak lulus sensor, tidak akan tayang sama sekali. Tapi apakah ini yang benar-benar dibutuhkan insan perfilman dan audiens Indonesia?
Seni memang suatu hal yang patut diapresiasi, sayangnya ada banyak nilai-nilai penting yang tetap harus dijaga demi keutuhan moral anak-anak bangsa, terutama mereka yang usianya masih muda, dan terutama lagi mereka yang berada di usia remaja yang cenderung berjiwa labil dan pemberontak, dan sedang getol-getolnya mencari jati diri. Ditambah lagi, saat ini pengawasan terhadap audiens tidak begitu ketat, baik di bioskop maupun (baca: apalagi) di televisi. Itu dilihat dari segi audiens. Sementara dari sisi para sineas, mereka masih memiliki kesadaran yang minim untuk tidak memasukan unsur sadisme, pornografi, dsb dalam karya mereka.
Jadi, keberadaan LSF memang masih sangat diperlukan untuk melindungi kepentingan publik berkaitan dengan moral, tata nilai, dan norma masyarakat Indonesia. Karena itu, LSF tidak perlu berubah menjadi LKF karena tugas mengklasifikasikan film seharusnya diemban oleh para sineas sendiri yang tentu cukup cerdas untuk menentukan target audiens mereka. Jangan mengharapkan LSF apalagi bioskop untuk menggenrekan film karena LSF hanya bertugas memfilter isi film sementara bioskop hanya memiliki niat berdagang.
Masalahnya sekarang, LSF tidak memiliki ukuran, standar, dan patokan yang jelas untuk menyensor film. Akibatnya sering terjadi salah sensor. Yang seharusnya disensor, lolos. Yang tak perlu disensor malah kena sensor. Supaya hal demikian tidak terulang kembali, ada baiknya jika LSF melakukan beberapa pembaharuan di dalam diri mereka. Apalagi sebenarnya LSF terdiri dari orang-orang cerdas yang sebagian di antaranya tak lain adalah sineas-sineas Indonesia itu sendiri, baik sutradara, produser, atau pekerja film lainnya.
Adapun caranya bermacam-macam. Misalnya LSF dapat mulai menyadari bahwa ia tidak dapat bekerja sendiri melainkan turut mengundang sineas-sineas lain, terutama yang terkait dengan produksi film yang sedang melalui tahapan sensor, dan tokoh-tokoh keilmuan masyarakat untuk duduk bersama mendiskusikan apa yang perlu dan tidak perlu disensor. Bila perlu, mereka duduk bersama untuk membicarakan aturan-aturan sensor film sehingga LSF, insan perfilman, maupun masyarakat memahami benar hal-hal apa yang layak dan tak layak untuk ditayangkan.
Di samping itu, sebaiknya LSF tidak langsung melakukan pemotongan terhadap suatu karya, melainkan melakukan beberapa tahapan guna memuaskan sineas maupun masyarakat. Jadi para sineas diberi kesempatan kedua, bila perlu ketiga untuk melakukan revisi terhadap adegan-adegan yang disensor. Jika kesempatan tersebut tidak mereka gunakan dengan baik, barulah LSF dapat memotong adegan tersebut.
Selain itu, ada baiknya juga jika diadakan diskusi terbuka insan-insan perfilman yang terlibat untuk mengajukan argumen mengapa adegan yang akan disensor tersebut perlu ditayangkan. Jika memang perlu, mengapa tidak? Jangan sampai adanya sensor malah berlawanan dengan asas-asas demokrasi, apalagi melanggar tiang-tiang demokrasi terpenting, sperti kemerdekaan berpikir, berbicara, dan berpendapat (Ismail, 1983: 30). Toh audiens Indonesia juga sudah banyak yang cukup pintar untuk memilah sendiri apa yang patut dan tak patut ditiru. Sebaliknya jika terlalu dilindungi, audiens justru makin resisten terhadap nilai-nilai negatif itu sendiri yang bila tak mereka pelajari dari film dapat mereka pelajari dari media lain yang lebih bebas, semisal internet.
Tetapi jika penyensoran terpaksa harus dilakukan, ada baiknya jika LSF memotong adegan dengan halus, jangan sampai penonton pulang dari bioskop dengan kebingungan karena tidak mengerti jalan cerita film akibat cerita yang ‘loncat-loncat’.Jika tidak, tak hanya para sineas muda yang berdemo untuk membubarkan LSF, masyarakat awam pun bisa jadi akan melakukan hal yang sama karena berkali-kali kecewa film yang mereka tonton habis dibabat.
Dengan demikian para sineas tak perlu lagi mempermasalahkan tindak penyensoran yang dilakukan oleh LSF. Sebaliknya, mari kita belajar untuk taat pada batasan-batasan yang berlaku. Tak perlu mengkambinghitamkan suatu lembaga sebagai pengekang kreativitas. Yang penting bagaimana sineas Indonesia memproduksi film-film bermutu. Isi filmnya saja masih kurang bermutu, tapi sedikit-sedikit protes ini-itu. Seharusnya para sineas bisa belajar dari orang-orang iklan (terutama produk rokok dan kondom) yang berhasil membuat karya bagus tanpa perlu melanggar nilai-nilai yang dianut masyarakat, sebaliknya justru mendapat apresiasi yang bagus dari masyarakat. Kalau memang mengaku sineas kreatif, hal seperti itu tentu tak menjadi halangan berarti, bukan?


DAFTAR PUSTAKA
Irawanto, Budi, dkk. Menguak Peta Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.
Ismail, Usmar. 1983. Usmar Ismail Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan.

http://arijuliano.blogspot.com/2007/01/apakah-lembaga-sensor-film-perlu.html
http://dolla.blogsome.com/2007/01/
http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Sensor_Film
http://infokito.wordpress.com/2007/09/16/mui-tolak-usulan-tiadakan-sensor-film/
http://jawaban.com/detail.asp?kat=21
http://kineklub.blogspot.com/2007/06/lembaga-sensor-film-akan-jadi-lembaga.html
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1999/03/18/0082.htmlJumat, 19 Maret 1999
http://www.indosiar.com/hitamputih/forum_komentar.htm?id=30http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/21/nas07.htm

Tidak ada komentar: