Sabtu, 09 Februari 2008

Komunikasi Sosial dalam Hubungan Pernikahan yang Menganut Sistem Patriarki

(Ini tugas mid makul komunikasi politik. Berhubung ngerjainnya cuma sekian jam -biasa, deadline- jadinya pas2an dan agak2 ga jelas. Tapi, lumayanlah..)
Di sebuah rumah mungil di daerah ibukota, hiduplah sepasang suami istri Batak. Sang suami biasa dipanggil Bapak Salman dan sang istri bernama Ibu Linda. Walaupun berasal dari suku yang sama, pasangan ini memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Linda hidup serba kelebihan, Salman serba kekurangan. Hobi dan interest mereka pun berbeda. Linda suka hal-hal yang berbau feminin seperti memasak, berdandan, atau berbelanja sedangkan Salman lebih suka berkumpul dengan teman-temannya dan membaca buku-buku nonfiksi.
Dalam buku berjudul Men are from Mars, Women are from Venus dan Truly Mars and Venus, John Gray menulis bahwa cara mudah untuk memahami perbedaan pria dan wanita adalah dengan mengistilahkan bahwa pria berasal dari Mars dan wanita dari Venus yang kemudian menetap bersama di bumi. Keduanya pada dasarnya memiliki sifat-sifat yang sama tetapi ada sifat-sifat tertentu yang cenderung lebih menonjol. Misalnya wanita cenderung untuk membicarakan persoalan sementara pria suka untuk menyendiri saat sedang dihadapkan pada suatu persoalan. Tetapi dalam kehidupan nyata, hal tersebut kadang terjadi sebaliknya.
Hal tersebut juga terjadi dalam hubungan Linda dan Salman. Dalam menghadapi persoalan, Linda suka mengajak Salman berbicara dari hati ke hati. Salman sering menyendiri di dalam kamar atau menginap di luar rumah. Tetapi hal sebaliknya juga tak jarang terjadi. Linda pernah juga mencari kesibukan di luar rumah sedang Salman terkadang mengajak Linda duduk bersama membicarakan persoalan yang tengah mereka hadapi. Yang lebih aneh lagi, Salman lebih sering bertingkah kekanakan yang cenderung mencari perhatian, padahal biasanya wanitalah yang memiliki kecenderungan perilaku tersebut. Misalnya dengan tindakan mengunci kamar dan membiarkan sang istri tidur di ruang tamu saat dirinya sedang marah. Sementara Linda tak jarang berusaha untuk tetap bersikap tenang agar pertengkaran tidak berlangsung makin panas.
Dalam hubungan pasangan ini, jelas terdapat bentuk-bentuk komunikasi di antara dua individu yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Ada banyak bentuk komunikasi yang terdapat di dalamnya, seperti komunikasi interpersonal, kelompok, maupun sosial. Yang ingin saya tekankan pada bahasan ini adalah komunikasi sosial dalam hubungan pernikahan pasangan ini.
Adapun komunikasi sosial, seperti telah kita ketahui, merupakan kegiatan pengoperan makna pesan dari satu pihak ke pihak lain dengan suatu tujuan khusus, yakni menghasilkan suatu kerterikatan maupun integrasi sosial yang dapat diukur dari segi keterikatan emosional dalam suatu bentuk ikatan (Susanto, 1979: 31). Kegiatan ini akan terhambat jika ada keengganan dalam diri individu untuk berkomunikasi. Padahal kegiatan komunikasi dalam hal ini sangat perlu dilakukan, terutama bila individu-individu yang saling berinteraksi memiliki latar belakang, gaya hidup, maupun cara pandang yang berbeda dengan harapan proses komunikasi sosial yang terjadi dapat memadukan latar belakang, gaya hidup, maupun cara pandang agar terjadi proses pemahaman di antara individu yang terlibat, seperti yang terjadi pada pasangan ini.
Proses yang terjadi tak hanya melalui jalur perdamaian semata, tapi dapat pula diawali dengan pertengkaran/pertikaian. Yang penting bukan jalur damai atau tidaknya proses ini, melainkan sampai atau tidaknya pesan yang ingin disampaikan oleh masing-masing individu yang terlibat. Proses ini tak lepas dari kebutuhan individu-individu yang terlibat. Jika individu tidak merasakan adanya kebutuhan, komunikasi tidak akan berjalan. Hambatannya adalah jika terjadi penilaian yang berbeda tentang suatu kebutuhan di antara komunikator dan komunikan. Misalnya Salman ingin agar Linda selalu stand by di rumah setiap saat, sementara Linda merasa bahwa sebagai individu ia juga perlu melakukan interaksi dengan berkumpul bersama para ibu lain ataupun memanjakan diri di salon.
Untuk itu, komunikasi diharapkan dapat menjembatani kebutuhan keduanya. Proses ini dapat berlangsung dengan optimal jika pangkalnya tidak terletak pada kepentingan masing-masing pihak, melainkan pada usaha memahami dan memenuhi kebutuhan individu lain yang terlibat. Dalam hal ini Salman harus menerima kebutuhan istrinya akan hubungan dengan sesama kaum ibu ataupun peremajaan diri di salon. Sebaliknya Linda membatasi keinginan-keinginannya dengan waktu berinteraksi maupun memanjakan diri yang secukupnya dan selebihnya selalu berada di rumah sambil melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang baik.
Proses komunikasi sosial ini tak dapat lepas dari unsur yang dinamakan interaksi sosial. Terdapat dua jenis interaksi sosial, yaitu yang bersifat disosiatif dan asosiatif karena seperti yang telah saya bahas sebelumnya pangkalan utamanya bukanlah damai tidaknya proses komunikasi yang terjadi dalam hubungan pasangan ini, melainkan sampai tidaknya pesan yang ingin disampaikan masing-masing individu kepada pasangannya. Hal ini terjadi tak hanya karena latar belakang, gaya hidup, ataupun cara pandang yang berbeda. Latar belakang budaya yang sama sekalipun dapat menyebabkan sikap masing-masing individu terbentuk menjadi pribadi yang berbeda yang dapat menyebabkan timbulnya ‘pergesekan’.
Masyarakat Batak menganut sistem patriarki dimana garis keturunan dilihat dari ayah, sehingga setiap pria Batak, berapapun usianya, dianggap raja dalam keluarganya. Walaupun di zaman seperti sekarang derajat wanita telah disejajarkan dengan pria, pria Batak tetap dianggap memiliki kekuasaan yang besar dalam memegang kendali keluarga. Hal ini menjadikan para suami Batak cenderung bersifat otoriter dalam mengontrol keluarganya.
Inilah yang terjadi dalam hubungan pernikahan Linda dan Salman. Walaupun Salman sering memberi kesempatan bagi Linda untuk memberikan pendapatnya terhadap suatu persoalan, mayoritas keputusan yang diambil adalah pendapat Salman sendiri. Dan ketika keputusan tersebut memiliki dampak negatif di kemudian hari, Salman tidak pernah mau disalahkan atas keputusan yang telah diambilnya dengan alasan ia mengambil keputusan tersebut setelah melakukan diskusi terlebih dahulu dengan Linda. Sementara jika kebetulan itu merupakan pendapat Linda, Salman dengan menggebu-gebu menyalahkan Linda. Ketika terjadi pertengkaran, Salman tidak pernah mengakui kesalahan dan cenderung melimpahkan semua masalah pada Linda. Bahkan selama lebih dari setengah usia pernikahan mereka, Linda tak jarang menerima kekerasan baik fisik maupun psikologi dari sang suami. Padahal sebagai anak perempuan termuda di keluarganya, Linda merupakan anak kesayangan ayah dan ibunya yang tidak pernah melakukan kekerasan dalam bentuk apapun kepadanya.
Pada awal pernikahan, Linda mengaku sangat terkejut dengan perilaku kekerasan yang dilakukan suaminya, tetapi ia mencoba sabar dengan harapan suatu hari suaminya akan berubah. Tak hanya menerima kekerasan semata, disuruh tidur di luar kamar dan diusir dari rumah pun pernah dialaminya. Bahkan Linda pun pernah berada di ambang kematian karena tensi darah yang tinggi akibat pertengkaran dengan Salman ketika akan melahirkan bayi mereka. Mereka juga sempat hampir berpisah, tetapi dengan campur tangan keluarga dan tetangga, hal tersebut tidak perlu terjadi sampai saat ini. Bagi masyarakat Batak, perceraian merupakan aib yang mencoreng nama baik keluarga besar, sehingga keluarga Batak dipastikan akan melakukan apapun agar anggota keluarganya tidak mengalami perceraian.
Rupanya kesabaran Linda membuah hasil. Suatu malam, Salman marah sambil mengucapkan kata-kata kasar pada Linda. Tetapi tidak seperti sebelum-sebelumnya, Salman tanpa sadar menjelek-jelekan mertuanya yang adalah almarhum ayah Linda. Ketika itu tiba-tiba Salman merasa haus lalu mengambil air minum di ruang makan. Seketika salah satu lampu neon panjang di ruangan itu jatuh dan pecah di lantai. Jika Salman tidak sigap melindungi wajahnya, dapat dipastikan ia tertimpa neon itu. Agaknya ia segera tersadar bahwa itu semacam teguran atas ucapannya. Sejak itu, ia tak pernah lagi melakukan kekerasan fisik kepada istrinya.
Lepas dari kekerasan fisik, bukan berarti Linda terlepas juga dari tekanan batin. Salman memang berusaha keras untuk tidak melakukan kekerasan fisik lagi pada istrinya, tetapi ia melampiaskan amarahnya dengan kata-kata yang pelan tapi ‘menusuk’. Tetapi Linda berpendapat bahwa hal tersebut dapat membuatnya memahami apa yang disukai dan tidak disukai suaminya serta mengajarinya untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan suaminya. Paling tidak, katanya, suaminya selalu berusaha melakukan interaksi dengannya.
Permasalahannya di sini bukan hanya pada pertikaian yang menimbulkan pengetahuan baru dalam diri Linda tentang kebutuhan-kebutuhan suaminya, melainkan apakah tindakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang diungkapkan oleh suaminya membuat Linda tetap memiliki keutuhan jati diri atau tidak. Misalnya, fakta bahwa Linda adalah seorang wanita yang supel dan punya banyak relasi membuatnya suka berinteraksi dengan banyak orang. Di masa mudanya, ia bekerja menjadi seorang guru SMA untuk beberapa mata pelajaran, seperti Bahasa Jerman, Etika Kantor, dan Geografi. Hal ini berlangsung hingga ia melahirkan anak ketiganya, setelah itu ia mengundurkan diri dan memilih menjadi ibu rumah tangga saja.
Yang menjadi masalah adalah ia memilih melepaskan pekerjaan yang dicintainya bukan karena murni keinginannya untuk fokus menjadi ibu rumah tangga, tetapi karena keinginan suaminya yang memiliki kuasa penuh untuk mengambil keputusan dalam keluarga. Walau awalnya menolak, pada akhirnya ia mengalah dengan mematuhi keputusan suaminya. Hal ini tentu saja sangat tak adil melihat ketika Linda benar-benar selalu berada di rumah, ia menjadi kehilangan sebagian dirinya yang supel dan selalu berpikiran positif menjadi seorang wanita yang lebih menutup diri dan kerap berprasangka buruk terhadap sesuatu yang belum ia ketahui benar.
Pertengkaran jenis ini digolongkan sebagai proses interaksi sosial yang bersifat disosiatif dimana terdapat proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh pasangan ini. Bentuknya ada dua, yakni konflik dimana terdapat perbedaan-perbedaan di antara keduanya dan kontroversi dimana timbul pertikaian (Bungin, 2006:62). Kontradiksi semacam ini memang wajib ada dalam suatu hubungan minor. Selain menimbulkan gaya sentripetal yang membuat keduanya saling menjauhi dan menyalahkan pasangan, juga ada gaya sentrifugal yang membuat keduanya tetap bersatu karena makin memahami kebutuhan-kebutuhan pasangannya.
Dengan adanya pembahasan di atas, bukan berarti pasangan ini selalu berselisih paham. Mereka juga sering kali bahu-membahu melakukan hal-hal positif secara bersama-sama, seperti mengasuh anak, mengurus rumah tangga, diskusi sosial, politik, ataupun agama, mencari nafkah, dan sebagainya. Mereka berusaha melakukan dengan maksimal hal-hal mana yang dapat mereka lakukan, sehingga timbulkan sikap saling melengkapi. Dari situ, mereka memahami bahwa mereka bukan pribadi yang sempurna dan mereka membutuhkan pasangannya untuk melengkapi hidup mereka dan sanggup mengisi kekosongan yang ada dalam diri mereka masing masing.
Berikut ini adalah proses interaksi asosiatif memiliki tiga bentuk kegiatan. Yang pertama adalah kerjasama. Pasangan ini melakukan tindakan tolong-menolong terhadap pasangannya dalam melakukan hal yang dapat mereka lakukan yang dikategorikan sebagai kegiatan gotong royong. Misalnya mereka tidak pernah membagi tugas mengurus anak melainkan bersama-sama melakukannya walau dengan cara yang berbeda, misalnya Salman lebih suka berdiskusi untuk memahami perkembangan anak, sementara Linda memberi perhatian dengan cara memasak makanan kesukaan anak. Mereka juga dapat dikatakan berkoalisi karena memiliki tujuan-tujuan yang sama dalam pernikahan dan berusaha mencapainya bersama-sama dalam kapasitas peranan mereka masing-masing sebagai suami dan istri.
Kedua, akomodasi. Proses ini berlangsung pada saat terjadi peredaan dalam pertengkaran yang mereka alami. Bentuknya bermacam-macam. Misalnya ketika kesepakatan yang terjadi akibat adanya paksaan dengan kekerasan fisik maupun psikologis yang sering dialami Linda disebut koersi. Mereka juga tak jarang sepakat mengurangi tuntutan masing-masing terhadap pasangannya dengan harapan tercapai penyelesaian dalam pertikaian mereka. Ini disebut dengan istilah kompromi. Atau ketiga mereka hampir bercerai dan keluarga sibuk membujuk mereka, terjadilah proses mediasi. Mereka juga tak jarang mencari usaha agar keinginan masing-masing pihak dapat terpenuhi tanpa harus menyingkirkan keinginan pihak lain, yang disebut koalisi. Saat pertengkaran terjadi, mereka terkadang berusaha berhenti pada suatu titik dan saling menahan diri untuk tidak melanjutkan pertengkaran (stalemate) dan agar tidak terjadi pertengkaran berikutnya, mereka saling menjaga hati pasangannya sambil tetap mengendalikan diri untuk tidak tercebur kembali dalam pertengkaran (toleransi).
Proses interaksi asosiatif tidak berhenti sampai di situ. Pasangan ini tanpa sadar saling memberi pengaruh terhadap cara pandang maupun tindakan yang kerap diambil pasangannya. Misalnya saja Salman yang memiliki kesukaan mengamati kehidupan politik di koran dan televisi membuat Linda juga ikut mengamati hal yang sama agar pembicaraan mereka ‘nyambung’. Atau Linda yang sebagai ibu rumah tangga berusaha menjalankan pola hidup hemat, membuat sang suami yang awalnya sering bersikap royal menjadi agak perhitungan agar dapat menghemat pengeluaran keluarga. Ini disebut dengan istilah asimilasi.
Walaupun memiliki latar belakang, gaya hidup, dan cara pandang yang berbeda tetapi Linda dan Salman dapat bertahan dalam kehidupan pernikahan selama lebih dari 21 tahun. Mereka beralasan bahwa ini bukan saja dikarenakan tanggung jawab atas janji sehidup semati yang telah mereka ucapkan di depan altar tapi juga cinta dan rasa tanggung jawab pada keluarga. Mayoritas orang Batak sampai saat ini memang menganggap bahwa pernikahan merupakan salah satu hal yang dianggap sakral dan kebahagiaan serta kebanggaan besar dalam keluarga.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam hubungan pasangan ini, komunikasi sosial memiliki peranan penting dalam mencapai integrasi, yakni adanya keterikatan emosional di antara keduanya. Hal ini terkait dengan kebutuhan masing-masing individu, usaha pemenuhan kebutuhan pasangan, pengalaman bersama, penerimaan peranan pasangan, serta adanya pengaruh timbal balik di antara dua individu ini. Kelima hal tersebut membuat proses komunikasi sosial di dalam hubungan pernikahan pasangan penganut sistem patriarki ini menjadi hidup seperti halnya perahu yang melintasi samudra dan tentu tak dapat lepas dari gelombang yang kadang pasang dan kadang surut, tetapi selalu berusaha tetap berlayar pada jalurnya dalam mencapai tempat tujuan bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Bhasin, Kamla. 1999. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gray, John. 2007. Men are from Mars, Women are from Venus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gray, John. 2000. Truly Mars and Venus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. Belmont: Wadsword.
Supomo. 1952. Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat. Jakarta: Yayasan Dharma.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

om ajarin saya cara bikin background yang kaya om n warna n jenis tulisannya yang seperti om juga

tolong om kirim kan caranya ke alamat email saya donald_maribaya@yahoo.co.id